Bandar Lampung, Senin (26/5/25)
Aliansi mahasiswa FEB Menggugat menggelar aksi demonstrasi damai di pelataran Gedung D Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung. Aksi bertajuk “FEB Krisis Multidimensi: Rebut Ruang, Lawan Bungkam, Tuntut!” ini merupakan bentuk protes atas dugaan pembungkaman, ketimpangan struktural, dan kasus kekerasan dalam kegiatan organisasi mahasiswa yang belum ditindaklanjuti secara adil dan transparan.
Dalam orasi yang dilakukan secara bergilir, mahasiswa menuntut penyelesaian terhadap kasus kekerasan yang terjadi dalam kegiatan salah satu organisasi mahasiswa pencinta alam, yang menyebabkan trauma mendalam hingga meninggalnya salah satu mahasiswa, Pratama — mahasiswa Bisnis Digital angkatan 2024. Berdasarkan kronologi yang disampaikan korban, kegiatan tersebut melibatkan perpeloncoan ekstrem tanpa SOP keselamatan yang memadai, termasuk pemaksaan fisik dan pelecehan mental.
Salah satu koordinator aksi menegaskan bahwa pihak fakultas justru dinilai melakukan pembungkaman melalui intimidasi dan tekanan terhadap korban agar tidak membagikan informasi ke publik. “Kami punya bukti verbal, tertulis, bahkan medis. Tapi mereka diminta menandatangani pernyataan untuk tidak membahas kasus ini lagi,” tegasnya.
Menanggapi aksi tersebut, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis menyatakan bahwa ia tidak pernah menutup ruang dialog. “Saya tidak pernah menolak dialog. Kalau ada sumbatan komunikasi, mari kita buka kembali. Saya pun sering mengundang pimpinan BEM dan DPM, tapi tidak ditanggapi,” ujar Dekan dalam forum terbuka saat aksi berlangsung.
Ia juga menambahkan bahwa penyelesaian kasus kekerasan telah dilakukan, termasuk pemanggilan pihak terkait dan pendampingan dari alumni. Namun, ia mengakui bahwa kegiatan kemahasiswaan tersebut tidak mematuhi prosedur keselamatan seperti keberadaan tim medis atau ambulans. “Kalau tidak ada SOP-nya, itu di luar kemampuan teoritis dan praktis mahasiswa. Maka kami akan tindak tegas bila ada bukti yang jelas,” tegasnya.
Dekan juga menyebut bahwa dua dosen telah dijatuhi sanksi atas pelanggaran yang terjadi, sebagai bukti bahwa fakultas tidak anti kritik. “Mana ada yang berani hukum dosen? Saya sudah lakukan karena saya berpihak pada keadilan,” katanya.
Selain kasus kekerasan, mahasiswa juga menyoroti kebijakan pengelolaan anggaran, keterbatasan fasilitas, dan transparansi dalam pengalokasian dana. Dekan menjelaskan bahwa seluruh perguruan tinggi, termasuk FEB, mengalami efisiensi anggaran hingga 50 persen. “Kami juga melakukan penghematan. Undangan ke luar daerah pun saya tolak demi efisiensi,” ujarnya.
Aksi ini diakhiri dengan seruan agar pihak dekanat membuka ruang mediasi yang adil dan tidak mengalihkan tanggung jawab terhadap korban maupun pelaku kekerasan. Mahasiswa juga menegaskan bahwa mereka akan terus mengawal proses ini hingga ada penegakan keadilan yang nyata dan menyeluruh.
Teks: Bagus Kadek Windu Putra