Mahasiswa FEB Unila Sampaikan Tuntutan Tegas Terkait Masalah-Masalah Kampus

Bandar Lampung, Sabtu (24/5/25)

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung  menggelar konsolidasi lanjutan pada Jumat lalu (23/5) di lapangan FEB Unila. Agenda ini guna menyampaikan serangkaian tuntutan dan aspirasi mahasiswa sebagai bentuk respons terhadap berbagai keluhan yang dirasakan mahasiswa dalam kehidupan kampus. Hasil konsolidasi ini dirangkum dalam manifesto perjuangan dan disuarakan dalam bentuk pernyataan sikap menjelang aksi massa pada 26 Mei 2025.

Etika Keamanan dan Pelayanan Menjadi Sorotan

Salah satu poin yang disorot adalah perlakuan tidak etis oleh beberapa petugas keamanan kampus. Mahasiswa mengeluhkan sikap kasar, sinis, dan bahkan intimidatif dari oknum petugas yang tidak mencerminkan etika dunia pendidikan. Menurut kesaksian beberapa mahasiswa yang hadir dalam konsolidasi, beberapa dari mereka diusir dari lingkungan kampus secara tidak sopan, termasuk ketika berada di perpustakaan maupun parkiran oleh petugas keamanan.

Seorang mahasiswa mengungkapkan pengalaman yang tidak menyenangkan saat terburu-buru menuju kelas dan lupa membawa KTM. Ia dilarang masuk oleh petugas keamanan. Tidak hanya itu, petugas tersebut disebut berbicara dengan nada tinggi dan terkesan tidak menghargai. Mahasiswa tersebut mempertanyakan mengapa persoalan sederhana seperti parkir harus dipersulit dengan perlakuan yang tidak menyenangkan.

Selain itu, insiden lainnya dialami oleh beberapa Ormawa yang hendak menerima tamu dari fakultas lain dilaporkan mendapat teguran keras dan bahkan ancaman dari pihak keamanan. Laporan lain juga menyebut adanya pelecehan verbal terhadap peserta UTBK serta relawan donor darah, yang dinilai merendahkan martabat sivitas akademika.

Pembatasan Akses Perpustakaan Dinilai Tidak Masuk Akal

Mahasiswa juga mengkritik pembatasan akses perpustakaan yang dirasa tidak konsisten dan tidak memiliki kejelasan prosedural. Beberapa mahasiswa menyampaikan bahwa mereka diusir saat mengerjakan tugas karena perpustakaan dianggap bukan tempat diskusi. Selain itu, terdapat perubahan mendadak dalam peraturan akses yang tidak diinformasikan secara transparan dengan alasan sedang ada perbaikan.

Seorang mahasiswa menyampaikan dirinya pernah dilarang masuk perpustakaan hanya karena dicurigai akan tidur di dalam. Padahal, niat utamanya adalah untuk belajar dan mencari ketenangan. Ia menilai bahwa tindakan penjaga perpustakaan tersebut mencerminkan sikap otoriter yang seolah-olah memperlakukan perpustakaan sebagai milik pribadi, bukan sebagai fasilitas publik kampus. Menurutnya, tindakan semacam ini justru menghambat semangat literasi dan budaya baca yang seharusnya ditumbuhkan di lingkungan akademik.

Ketimpangan Akses Fasilitas Kampus

Mahasiswa juga menyoroti ketidakadilan dalam penggunaan fasilitas kampus, khususnya Gedung Student Centre (SC) Lantai 1. Ketika mahasiswa ingin memanfaatkan fasilitas tersebut untuk kegiatan akademik maupun sosial, mereka kerap dihadapkan pada syarat dan prosedur yang rumit. Sebaliknya, ketika pihak fakultas menggunakan tempat yang sama, tampak tidak ada pembatasan serupa. Kondisi ini menimbulkan kesan ketimpangan hak akses antara mahasiswa dan pihak birokrasi kampus, yang dinilai tidak adil dan berpotensi mengarah pada praktik komersialisasi fasilitas pendidikan.

Kekerasan dalam Kaderisasi Salah Satu Ormawa

Isu paling serius yang mencuat dalam konsolidasi mahasiswa FEB Unila adalah dugaan kekerasan dalam proses kaderisasi yang melibatkan salah satu Ormawa. Kegiatan tersebut ditengarai tidak hanya menimbulkan luka fisik berat, termasuk cedera permanen pada gendang telinga seorang peserta, tetapi juga diduga menjadi penyebab meninggalnya satu orang mahasiswa.

Menurut kesaksian beberapa peserta kegiatan, mahasiswa yang meninggal tersebut sempat dipaksa berjalan kaki dari rumahnya menuju lokasi kegiatan yang berada di wilayah perbukitan. Dalam prosesnya, ia tidak diperbolehkan membawa tas, ponselnya disita, bekal makanannya diambil, dan uang yang disimpan di dalam tas dilaporkan hilang. Lebih lanjut, keluarga korban menyatakan bahwa korban mengalami luka memar di beberapa bagian tubuhnya, serta terdapat dugaan kekerasan fisik, termasuk pernyataan bahwa kepala korban diinjak hingga terbenam di lumpur.

Pihak Ormawa yang bersangkutan menyampaikan klarifikasi bahwa peserta yang mengalami cedera maupun yang meninggal dunia telah dimintai surat keterangan sakit sebelum kegiatan berlangsung. Mereka berdalih bahwa mahasiswa yang mengalami cedera di bagian telinga memang telah memiliki riwayat gangguan kesehatan sebelumnya, dan mahasiswa yang meninggal disebut mengidap tumor otak dalam kondisi yang sudah parah. Namun pertanyaan kritis muncul dari mahasiswa lain:” Jika surat sakit memang sudah dikumpulkan dan diketahui oleh panitia, mengapa peserta yang sakit tetap diizinkan mengikuti kegiatan ekstrem tersebut?”.

Selain itu, klarifikasi dari Ormawa terkait bukan disampaikan oleh ketua umum, melainkan hanya oleh salah satu anggota pengurus. Meski mereka mengaku memiliki bukti berupa surat sakit dan data penunjang lainnya, hingga saat konsolidasi berlangsung mereka belum dapat menunjukkan dokumen atau bukti tersebut secara terbuka.

Lebih lanjut, muncul pula kesaksian bahwa sejumlah mahasiswa yang mengikuti kegiatan atau mengetahui peristiwa tersebut diminta untuk tidak menceritakan kejadian yang mereka alami atau saksikan. Diduga kuat, terdapat upaya pembungkaman terhadap saksi dan korban. Bahkan, keluarga dari korban yang meninggal dilaporkan menerima tekanan, intimidasi, dan ancaman dari pihak kampus, termasuk dari oknum dan pengurus Ormawa yang bersangkutan. Mahasiswa yang mengalami cedera pun disebut-sebut diminta menandatangani surat perjanjian dari pihak fakultas agar tidak membocorkan kejadian tersebut ke publik.

Kondisi ini memicu kecaman keras dari mahasiswa yang menilai bahwa klarifikasi tersebut tidak cukup menjawab pertanyaan substansial mengenai tanggung jawab dan perlindungan terhadap peserta kegiatan. Penanganan internal yang hanya bersifat administratif dinilai tidak layak dalam kasus serius yang menyangkut keselamatan, bahkan nyawa mahasiswa.  Oleh karena itu, mahasiswa menuntut agar kasus ini dibuka secara transparan dan diproses melalui jalur hukum yang sah, serta mendesak agar pihak-pihak yang terlibat, baik dari Ormawa maupun pihak kampus, dimintai pertanggungjawaban penuh.

PERNYATAAN SIKAP: ALIANSI MAHASISWA FEB MENGGUGAT

Poin-poin yang menjadi tuntutan mahasiswa, yaitu:

1. Menghapus Organisasi Mahasiswa (Ormawa) yang Terlibat Kasus Kekerasan atau Pelanggaran Etik, serta mengusut tuntas kasus tersebut agar pelaku mendapat sanksi seadil-adilnya. Kami juga menuntut pihak dekanat untuk memberikan klarifikasi dan pertanggungjawaban atas kasus serta dugaan pembungkaman terhadap korban.

2. Menuntut transparansi keuangan dari pihak dekanat serta pengembalian dana yang secara tidak jelas dipotong dari alokasi untuk UKM dan Mahasiswa Berprestasi. Kami menolak segala bentuk penyalahgunaan wewenang atas anggaran mahasiswa.

3. Memberikan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja staf yang terlibat, termasuk unit keamanan dan sarana-prasarana, yang selama ini gagal menciptakan lingkungan yang aman dan suportif bagi mahasiswa.

4. Menuntut kebijakan batas waktu penggunaan fasilitas kampus yang fleksibel, disesuaikan dengan sistem perizinan yang transparan dan tidak diskriminatif.

5. Menuntut kesetaraan hak penggunaan fasilitas antara mahasiswa dan tenaga pendidik (dosen), baik dari segi prosedur perizinan, durasi penggunaan, maupun ketersediaan ruang, demi terciptanya ruang akademik yang adil dan demokratis.

6. Penyediaan lahan parkir yang memadai dan aksesibel bagi mahasiswa, menyusul pemindahan parkiran ke Gedung B.

7. Mendesak peningkatan serta pelengkapan fasilitas penunjang akademik di Gedung F, seperti AC, proyektor, dan komputer, guna mendukung kenyamanan dan efektivitas kegiatan belajar-mengajar.

 

Teks : Ahmad Verlyansyah

Penyunting : Bagus Kadek Windu Putra

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *