Pemerintah Lakukan Efisiensi Anggaran: RRI dan TVRI Sebagai Media Penyiaran Publik Turut Terdampak

Bandar Lampung, Senin (17/2/25)

Keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk memotong anggaran kementerian dan lembaga dengan alasan sebagai langkah penghematan anggaran, sebagaimana diatur dalam Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025, berdampak signifikan terhadap lembaga penyiaran publik, yaitu Radio Republik Indonesia (RRI) dan Televisi Republik Indonesia (TVRI).

Pemotongan anggaran operasional RRI mencakup hampir sepertiga dari pagu anggaran tahun 2025. Juru Bicara RRI, Yonas Markus Tuhuleruw, menyatakan bahwa pemotongan ini berimbas langsung pada layanan media penyiaran publik, yang juga dialami oleh TVRI. Akibatnya, manajemen kedua lembaga ini terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), yang berujung pada berkurangnya kualitas dan kuantitas materi isi siaran yang berhak diterima oleh publik. Hal ini semakin menambah catatan buruk kondisi perburuhan dalam industri media massa di Indonesia, terutama pasca-digitalisasi.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sebagai salah satu stakeholder dalam ekosistem media publik di Indonesia, menyatakan keprihatinannya terhadap kondisi RRI dan TVRI yang terdampak akibat keputusan Presiden Prabowo. Ketua AJI Indonesia, Nany Afrida, menjelaskan, “Keputusan efisiensi ini pasti akan berdampak pada penurunan kualitas siaran dan produk jurnalistik yang dihasilkan oleh kedua media layanan publik ini, karena mereka yang terkena PHK juga termasuk jurnalis dan reporter lapangan.”

Menurut UU No. 32/2002 tentang Penyiaran menegaskan bahwa lembaga penyiaran publik seperti RRI dan TVRI harus bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan pada masyarakat. RRI dan TVRI berperan penting dalam memberikan informasi, pendidikan, serta melakukan kontrol sosial. Selain itu, RRI dan TVRI memiliki peran historis dalam mempertahankan negara dan perjuangan mencapai cita-cita proklamasi, serta menjaga keutuhan Republik Indonesia.

“Saat ini masih banyak masyarakat yang menggantungkan diri pada informasi dari TVRI dan RRI, terutama di kawasan terpencil dan pedesaan. Tanpa layanan dari lembaga ini, masyarakat berisiko kehilangan informasi dan tidak menutup kemungkinan akan mendapatkan informasi yang salah, yang dapat membahayakan,” tambah Nany.

Keputusan Presiden Prabowo untuk melakukan penghematan anggaran belanja negara semestinya tidak bersifat pukul rata kepada semua kementerian dan lembaga. Sebagai contoh, lembaga penyiaran publik di negara-negara maju seperti Jerman dan Inggris mendapatkan perhatian khusus dan anggaran mereka tetap dijaga untuk memastikan hak publik atas layanan informasi berkualitas.

“Kita harus ingat bahwa layanan informasi yang berkualitas (pendidikan) itu adalah bagian dari hak asasi manusia,” tegas Nany.

Komitmen Prabowo atas peningkatan warga terdidik melalui media publik sebagai prasyarat demokrasi yang sehat patut dipertanyakan, karena kebijakannya justru melemahkan RRI dan TVRI.

“Pemerintah seharusnya tidak melakukan efisiensi anggaran untuk RRI dan TVRI. Selama ini, anggaran untuk kedua lembaga ini sudah cenderung kecil, dan bahkan jurnalisnya dibayar rendah. Di daerah, banyak di antara mereka yang dibayar di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Padahal, mereka memiliki peran vital dalam penyampaian informasi kepada publik,” tambah Nany.

Dalam situasi krisis manajemen yang telah berlangsung sejak reformasi 1998, RRI dan TVRI seharusnya mendapat perhatian khusus terkait transformasi kelembagaan dan pendanaan. Keputusan untuk melakukan efisiensi melalui penghematan atau pemotongan anggaran justru berpotensi memperburuk kondisi kerja dan kualitas kinerja kedua media publik tersebut. Ketersediaan dana yang memadai sangat penting guna memastikan kedua media tersebut dapat menjalankan fungsi jurnalistik dan pelayanan informasinya dengan baik.

Terlebih PHK yang menimpa lebih dari 1.000 kontributor RRI dan TVRI akibat kebijakan efisiensi anggaran pemerintah ini makin memperburuk kondisi ketenagakerjaan media massa di Indonesia yang memang sudah sangat sulit.

Sebagai respon terhadap situasi ini, AJI Indonesia menyampaikan beberapa tuntutan kepada Presiden dan manajemen RRI/TVRI:

1. Peninjauan Kembali Kebijakan Pemangkasan Anggaran

Meminta pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan pemangkasan anggaran yang berdampak pada PHK massal kontributor RRI dan TVRI, serta mempertimbangkan peran vital mereka dalam penyampaian informasi kepada publik.

2. Pemulihan Hak dan Kesejahteraan Pekerja

Menuntut pemulihan hak-hak dan kesejahteraan para kontributor yang di-PHK, termasuk kompensasi yang adil dan dukungan untuk transisi ke pekerjaan lain.

3. Transparansi dalam Proses Pengambilan Keputusan

Mendorong transparansi dalam proses pengambilan keputusan terkait pemangkasan anggaran dan PHK, serta melibatkan perwakilan pekerja dalam diskusi tersebut.

Kepada manajemen RRI dan TVRI, AJI Indonesia meminta mereka untuk memikirkan ulang kebijakan melakukan PHK terhadap para jurnalis dan awak media lainnya dengan pertimbangan sebagai berikut:

1. Dampak bagi Publik

• Penurunan Kualitas dan Akses Informasi

PHK massal terhadap kontributor RRI dan TVRI berpotensi menurunkan kualitas dan kuantitas konten yang disajikan oleh kedua media tersebut. Hal ini dapat mengurangi akses masyarakat, terutama di daerah terpencil, terhadap informasi yang akurat dan beragam.

• Kesenjangan Informasi di Daerah Terpencil

Dengan berkurangnya jumlah kontributor, mengakibatkan penyebaran informasi terutama di daerah terpencil yang selama ini bergantung pada RRI dan TVRI mungkin akan terhambat, meningkatkan kesenjangan informasi antara wilayah perkotaan dan pedesaan.

2. Dampak bagi Keluarga Kontributor yang di-PHK

• Kesulitan Ekonomi

Kehilangan pekerjaan secara tiba-tiba menyebabkan hilangnya sumber pendapatan utama bagi banyak keluarga kontributor, yang dapat mengakibatkan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari.

• Tekanan Psikologis dan Sosial

PHK dapat menimbulkan tekanan psikologis, seperti stres dan kecemasan, baik bagi kontributor yang terdampak maupun anggota keluarga mereka. Selain itu, status pengangguran dapat mempengaruhi hubungan sosial dan menurunkan kepercayaan diri.

Dalam jangka menengah, dengan belajar dari kasus penghematan anggaran negara ini, manajemen RRI dan TVRI perlu merumuskan peta jalan pendanaan operasional yang tidak bergantung pada anggaran negara atau APBN. Upaya ini penting untuk memastikan keberlanjutan operasional kedua lembaga penyiaran publik, serta untuk menjaga independensi dan kualitas layanan yang diberikan kepada masyarakat.

Dalam UU No. 32/2002, menyebutkan bahwa sumber dana kedua media paling awal adalah iuran publik, disusul APBN/D, sumbangan masyarakat, lain-lain. Dalam konteks ini, RRI dan TVRI perlu memperkuat kepercayaan masyarakat melalui konten berkualitas yang nantinya bermuara pada dukungan pendanaan langsung dari masyarakat.

Secara khusus, Dewan Pengawas RRI dan TVRI perlu lebih aktif dalam berdialog dengan masyarakat untuk menggalang dukungan dan memperkuat lini layanan konten yang berfokus pada kepentingan publik. RRI dan TVRI seharusnya tidak lagi menjadi media yang hanya melayani kepentingan pemerintah, melainkan harus mengambil posisi sebagai media independen yang menyuarakan kepentingan dan kebutuhan masyarakat.

Teks: Bagus Kadek Windu Putra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *