Bandar Lampung, Minggu (16/2/25)
Penolakan Terhadap Wacana Konsesi Tambang Untuk Kampus
Wacana konsesi tambang untuk kampus dalam revisi UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) harus ditolak. Usulan ini dinilai berpotensi menggerus independensi kampus sebagai lembaga pendidikan yang seharusnya berorientasi pada tridarma.
Ilham Majid, dosen Universitas Musamus, menegaskan, “Upaya untuk mengintegrasikan kampus dalam sistem pasar semakin mengkhawatirkan. Independensi kampus sebagai institusi yang berkomitmen pada ilmu pengetahuan semakin terancam.” Pernyataan ini disampaikan saat Diskusi Publik “Timang Tambang Kampusku Sayang” yang diselenggarakan oleh Bakul Pemimpi secara virtual pada Sabtu, (8/2/2025).
Ilham berpendapat bahwa rencana memberikan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) kepada perguruan tinggi menegaskan semangat liberalisasi ekonomi dalam dunia pendidikan. Kebijakan tersebut memungkinkan kampus terlibat dalam aktivitas pertambangan, yang berpotensi menimbulkan dampak negatif pada lingkungan. Artinya, menjadikan kepentingan ekonomi sebagai prioritas, sementara dampak dari aktivitas pertambangan menjadi urusan belakangan.
“Kampus sejatinya menjadi kompas moral dan intelektualitas, bukan sebagai alat negara untuk mencuci praktik-praktik buruk industri ekstraktif.” jelasnya.
Senada dengan Ilham, Tata Kasmiati, dosen Universitas Sulawesi Barat, mengingatkan bahwa pengelolaan tambang oleh kampus akan menyimpang dari tujuan tridarma perguruan tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. “Saat ini, akademisi menghadapi beban administratif yang cukup besar. Jika kampus menambah beban kerja baru berupa aktivitas tambang, maka ini bukan hanya di luar kewajaran, tetapi dapat menciptakan ketimpangan dan ketidakadilan dalam struktur akademik. Terlebih, dengan beban kerja akademisi yang meningkat akan mengurangi fokus pada tugas utama kampus, yakni mendidik dan meneliti,” ujarnya.
Selain mengalihkan fokus utama kampus dalam mendidik dan meneliti, hal ini bisa melahirkan ketimpangan gender dalam dunia akademik. Sebab, sektor pertambangan merupakan industri yang didominasi oleh laki-laki. Kemudian, peran kampus sebagai pengawas independen akan hilang bila kampus menjadi bagian dari pelaku tambang.
“Kewajiban kampus bukan mengkapitalisasi pendidikan, tapi bagaimana membuat pendidikan menjadi acceptable bagi semua orang,” kata Tata.
“Kalau kampus mengelola tambang berarti ia pelaku. Padahal, kalau terjadi sesuatu, yang menjadi ahli untuk menilai adalah orang-orang di universitas,” tambahnya.
Zulfatun Mahmudah, seorang profesional komunikasi publik di perusahaan tambang, mengingatkan bahwa sektor pertambangan memerlukan modal awal yang sangat besar. Sebagai gambaran, PT Kaltim Prima Coal menghabiskan USD 570 juta dalam tahap konstruksi awalnya, atau sekitar Rp10 triliun dengan kurs saat ini.
“Bila kampus ingin mengelola tambang, maka hanya ada dua pilihan. Pertama, melibatkan pihak ketiga, yang berarti memberi hak konsesi kepada investor dan kampus menerima fee, namun kehilangan kendali atas tambang. Kedua, kampus harus mencari pinjaman, yang berarti harus ada aset sebagai jaminan.” ujar Zulfatun.
Risiko yang dihadapi oleh kampus adalah kehancuran reputasi dan konflik kepentingan. “Masalahnya, apakah kampus benar-benar akan mendapatkan keuntungan dari aktivitas ini? Atau justru akan merusak reputasinya?” tanya Zulfatun.
Pelemahan Perlawanan
Dalam pandangan Ilham, polemik soal izin tambang untuk kampus merupakan perang posisi atau perang wacana. Mengutip Gramsci, perang posisi untuk pencapaian hegemoni. Perang ini dilakukan pada tingkat masyarakat sipil.
Ilham menjelaskan bahwa hal ini merupakan bentuk desentralisasi pengelolaan tambang dari level pemerintah pusat ke aktor-aktor subnasional, seperti ormas dan perguruan tinggi. “Sisipan kampus dalam pengelolaan tambang berpotensi menjadi alat untuk meredam kritik masyarakat terhadap praktik-praktik tambang yang merusak lingkungan,” ujarnya.
Secara psikologis, upaya ini bertujuan agar isu tentang penambangan dapat diterima oleh masyarakat. Sebab, dalam banyak kasus, persoalan tambang cenderung diwarnai konflik, baik vertikal maupun horizontal.
“Kelas penguasa melihat bahwa gerakan sosial dimotori kelas menengah. Untuk mengurangi resistensi itu, maka dibangunlah wacana tandingan bahwa kampus mengelola tambang,” kata dia.
Dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) Akbar Reza sependapat dengan Ilham. Bila diperhatikan, isu soal izin kelola tambang untuk kampus seperti cek ombak. Lempar dahulu wacananya untuk melihat respons masyarakat sipil, lalu pemerintah akan mengambil sikap.
“Ini disebut viral based policy, kebijakan yang berbasis sifatnya viral. Itulah mengapa diskusi-diskusi seperti ini sangat penting untuk menjaga kompas diri bahwa ruang ini bukan sekadar intelektual, tapi juga spiritual,” ujarnya.
Hal lain yang meresahkan, sambung Reza, sivitas akademika menjadi tameng untuk legitimasi moral atau intelektual. Ketika kampus terlibat pengelolaan tambang, maka yang dibutuhkan bukan hanya kapital, tapi juga kompetensi. Kenyataannya, tidak semua akademisi memiliki kompetensi mengelola tambang.
“Akhirnya, hanya kampus yang punya kapital dan jaringan yang akan mendapat WIUP. Lalu, bagaimana dengan kampus-kampus yang punya akses terbatas? Ya, tetap diadu antara sipil dengan sipil,” kata Reza.
Lebih lanjut, Feri Amsari, ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, berpendapat bahwa izin tambang untuk perguruan tinggi menggambarkan upaya untuk memecah belah kampus. “Kampus seharusnya menjadi pengkritik bagi perilaku negara, bukan justru menjadi alat untuk kepentingan bisnis yang bisa memecah belah internal,” ungkapnya.
Fenomena ini mirip dengan upaya membelah ormas, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), yang awalnya berbasis keadaban, tetapi kemudian terdorong ke arah perhitungan ekonomi. Kampus kini berada dalam ancaman serupa, di mana berbagai kepentingan berupaya mengarahkan institusi akademik keranah keuntungan bisnis tambang yang berimplikasi pada fragmentasi internal.
Saat ini, wacana yang berkembang di lingkungan kampus bukan lagi soal bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan, melainkan mengarah pada bagaimana cara mengekstraksi kekayaan alam. Hal ini mengubah esensi kampus sebagai tempat pembelajaran menjadi sekadar alat untuk meraup keuntungan.
“Kampus dan organisasi akademik harus bersatu menekan para penguasa untuk mencabut wacana konsesi tambang bagi kampus. Pergerakan ini harus dikonsolidasikan agar lebih efektif dalam mencapai tujuan,” tutup Feri.
Teks: Bagus Kadek Windu Putra