Bagaimana Danantara Dapat Menjadi Pedang Bermata Dua

Danantara (Daya Anagata Nusantara) merupakan Badan Pengelola Investasi atau Sovereign Wealth Fund (SWF) milik pemerintah Republik Indonesia yang bertujuan mengkonsolidasikan dan mengoptimalkan investasi negara guna mendukung pertumbuhan ekonomi nasional secara berkelanjutan. Melansir dari Reuters, sejak diresmikan oleh Presiden Prabowo pada 24 Februari lalu, Danantara diproyeksikan mengelola aset senilai US$ 900 miliar, menjadikannya salah satu SWF terbesar di dunia. Dengan jumlah tersebut, Danantara melampaui Government of Singapore Investment Corporation (GIC) dan mendekati Public Investment Fund (PIF) milik Arab Saudi.

Danantara sendiri merupakan sebuah super holding dari 7 BUMN besar yaitu Bank Mandiri dengan aset sebesar Rp2.174,21 triliun, BRI Rp1.965,0 triliun, PLN Rp1.670,64 triliun, Pertamina Rp1.404,76 triliun, BNI Rp1.086,66 triliun, Telkom Rp287,04 triliun, dan MIND ID Rp259,18 triliun.

Tujuan pembentukan super holding ini adalah menyederhanakan proses bisnis antar BUMN, meningkatkan efisiensi operasional, serta menarik investasi asing. Dengan sistem ini, koordinasi antar BUMN menjadi lebih efektif dan terpusat. Misalnya, investor yang ingin membangun pabrik mobil listrik tidak perlu lagi berurusan dengan berbagai BUMN secara terpisah untuk kebutuhan bahan baku nikel (MIND ID), listrik (PLN), hingga stasiun pengisian daya (PLN dan Pertamina). Sentralisasi ini diharapkan mempercepat proses pengambilan keputusan dan memberikan kepastian bagi investor asing.

Dalam tahap awal, Danantara berencana menginvestasikan US$20 miliar untuk sekitar 20 proyek strategis yang mencakup beberapa sektor utama. Salah satu fokus utamanya adalah hilirisasi mineral, terutama dalam pengelolaan sumber daya seperti nikel, bauksit, dan tembaga, yang bertujuan meningkatkan nilai tambah komoditas sebelum diekspor. Selain itu, Danantara juga menargetkan pengembangan infrastruktur digital melalui pembangunan pusat data (data center) dan pengembangan kecerdasan buatan (AI) untuk mendorong transformasi digital di Indonesia.

Di sektor energi dan petrokimia, investasi diarahkan pada pembangunan kilang minyak dan pabrik petrokimia guna memperkuat ketahanan energi nasional dan mengurangi ketergantungan impor. Upaya lain difokuskan pada ketahanan pangan melalui pengembangan produksi pangan, protein, dan budidaya perikanan untuk menjamin ketersediaan bahan pangan di dalam negeri. Selain itu, Danantara juga berkomitmen mendukung transisi energi dengan berinvestasi di sektor energi baru dan terbarukan, termasuk pembangkit listrik tenaga surya, angin, dan energi berbasis hidrogen, sebagai langkah konkret menuju ekonomi yang lebih berkelanjutan.

Melalui investasi pada sektor-sektor strategis tersebut, diharapkan akan mendorong terciptanya banyak lapangan kerja formal baru dengan bayaran yang relatif lebih tinggi guna menyerap lebih banyak tenaga kerja, mengurangi tingkat pengangguran, dan mempercepat pertumbuhan ekonomi berbasis industri bernilai tambah tinggi.

Sedangkan, struktur kepemimpinan Danantara terdiri dari tiga komponen utama: Dewan Penasehat, Dewan Pengawas, dan Badan Pelaksana. Dewan Penasehat terdiri dari Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden ke-6 Indonesia, dan Joko Widodo, Presiden ke-7 Indonesia. Sementara itu, Dewan Pengawas dipimpin oleh Erick Thohir sebagai Ketua, didampingi oleh Sri Mulyani Indrawati sebagai anggota serta melibatkan dua tokoh internasional, yakni Tony Blair, mantan Perdana Menteri Inggris, dan Ray Dalio, pendiri perusahaan investasi global Bridgewater Associates. Pada level operasional, Badan Pelaksana dipimpin oleh Rosan Roeslani sebagai Kepala atau CEO, dengan Pandu Patria Sjahrir menjabat sebagai (CIO) yang bertanggung jawab atas strategi investasi, dan Dony Oskaria sebagai (COO) yang mengawasi pelaksanaan operasional sehari-hari.

Jika dilihat dari struktur dan tata kelola, terdapat kekhawatiran serius terkait tata kelola dan akuntabilitas Danantara. Salah satunya karena status pelaporannya yang langsung kepada Presiden dan tidak melalui DPR. Ketidakterlibatan legislatif ini dalam pengawasan memunculkan potensi penyalahgunaan kekuasaan, kurangnya transparansi, dan risiko intervensi politik dalam pengambilan keputusan investasi.

Dengan besarnya aset yang dikelola dan kompleksitas investasi menghadirkan risiko yang signifikan, termasuk potensi korupsi dan ketidakpastian hukum. Apalagi, danantara dibuat tidak dapat di audit oleh KPK, dan BPK. Ketidakjelasan mekanisme pengawasan eksternal ini dapat membuka celah bagi praktik korupsi dan penyalahgunaan dana publik.

Jika dibandingkan dengan model investasi global, independensi dan pengawasan yang ketat dalam proses pengambilan keputusan merupakan faktor krusial. Tanpa pengawasan yang ketat dan independen, risiko inefisiensi, penyalahgunaan dana, serta kegagalan proyek menjadi jauh lebih besar.

Sebagai contoh Norwegia melalui (SWF) Government Pension Fund Global, di mana pengelolaan dana diserahkan kepada Norges Bank (Bank Sentral Norwegia yang independen) yang mengelola dana dengan bijak dan berbasis prinsip keberlanjutan sehingga berhasil memberikan manfaat jangka panjang dan menjaga stabilitas ekonomi negara tersebut. Sebaliknya, kasus Sof Samrup Kina di Kazakhstan dan 1MDB di Malaysia menunjukkan bagaimana investasi besar pada reformasi BUMN menghadapi tantangan berat berupa korupsi dan inefisiensi serta penyalahgunaan kekuasaan, yang memperlambat tercapainya tujuan strategis.

Jika tata kelola Danantara tidak diketatkan, risiko kerugian besar menjadi nyata, terutama jika audit dan pengawasan independen diabaikan. Kerjasama dengan mitra bisnis yang memiliki catatan kriminal atau riwayat korupsi juga dapat merusak reputasi dan kepercayaan publik terhadap Danantara. 

Oleh karena itu, ini dapat dianggap sebagai sebuah pertaruhan “cacing-cacing, naga-naga”, jika bisa dieksekusi dengan baik dan matang maka Danantara dapat menjadi alat pembangunan dalam mencapai status negara maju. Sebaliknya, jika ternyata Danantara hanya menjadi alat politik untuk mendukung kekuasaan dan sebagai ladang korupsi, maka dapat dipastikan bahwa Indonesia tidak akan dapat mencapai cita-cita Indonesia Emas 2045 dan tetap terjebak sebagai negara berstatus “middle income country ”.

Referensi:

  • Reuters(2025). New Indonesia sovereign wealth fund to invest $20 billion in projects.
  • Reuters(2025). Indonesia’s new sovereign fund will run with commercial mindset, official says.
  • Wikipedia(2025). Danantara. https://id.wikipedia.org/wiki/Danantara
  • Financial Times(2025). Indonesia’s plan for wealth fund controlled by president stirs concern.

 

Penulis: Bagus Kadek Windu Putra

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *