Bandar Lampung, Jumat (25/4/2025)
Aksi warga Bandar Lampung yang menuntut pertanggungjawaban Wali Kota Eva Dwiana atas bencana banjir bandang yang terjadi pada Senin (21/4) lalu berujung pada tindakan represif dari aparat, Kamis (24/4). Alih-alih mendapatkan solusi dari pemerintah kota, sejumlah peserta aksi yang hendak menyampaikan tuntutan langsung di depan pintu Gedung Wali Kota dicegat, digiring, bahkan mengalami kekerasan fisik oleh aparat Satpol PP.
Aksi yang berlangsung sejak Rabu (23/4) ini awalnya hanya diikuti empat orang, namun perlahan bertambah menjadi 14 orang yang terdiri dari warga dan mahasiswa. Mereka mendesak pemerintah kota segera bertindak konkret atas bencana banjir bandang yang telah merenggut 8 nyawa. Tragedi ini merupakan banjir keempat sejak Januari 2025, yang membuat warga semakin geram terhadap penanganan pemerintah yang dinilai hanya seremonial tanpa solusi nyata.
Warga juga menyuarakan keprihatinan atas respons aparat selama aksi berlangsung. “Tidak ada banjir, tidak ada apa-apa, tidak ada solusi kok demo itu namanya bodoh, tapi kalau masyarakatnya demo berarti ada masalah,” ujar salah seorang peserta aksi. Beberapa masyarakat menilai para aparat yang seharusnya melindungi masyarakat justru berbalik arah menyerang warga sipil, seolah mengedepankan kaum tertentu. Hal ini mempertegas kekecewaan publik terhadap cara pemerintah dan aparat menangani suara rakyat yang menuntut keadilan.
Selain meminta pertanggungjawaban atas bencana, massa aksi juga mendesak Pemkot untuk menyusun peta konsep penanganan banjir yang melibatkan para ahli, mulai dari ahli banjir hingga sosiolog. Keterlibatan berbagai pihak dianggap krusial untuk memastikan pendekatan yang lebih manusiawi dan efektif dalam menghadapi bencana yang berulang.
Warga berkomitmen untuk melanjutkan aksi sampai tuntutan mereka dipenuhi. Hingga berita ini ditulis, belum ada pernyataan resmi dari pihak pemerintah kota maupun aparat keamanan terkait insiden kekerasan yang terjadi dalam aksi tersebut.
Aksi ini mencerminkan kepedihan sekaligus keteguhan warga yang merasa diabaikan oleh pemerintahnya sendiri, dan menuntut perubahan nyata demi keselamatan bersama.
Teks: Khadijah Raihan