Bandar Lampung, Rabu(18/06/25)
Universitas Lampung (Unila) umumkan hasil investigasi independen terhadap dugaan kekerasan dalam kegiatan dalam kegiatan Pendidikan Dasar (Diksar) Mahasiswa Pecinta Alam (Mahepel) Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang menyebabkan meninggalnya Pratama Wijaya Kusuma, mahasiswa S1 Bisnis Digital 2024.
Pemaparan hasil investigasi disampaikan langsung oleh Prof. Dr. Sunyono, M.Si., Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, dalam konferensi pers terbuka pada Rabu (18/6). Tim investigasi bekerja di bawah mandat independensi dan objektivitas, menggunakan metode verifikasi berlapis melalui wawancara, penelaahan dokumen, dan observasi lapangan.
Temuan investigasi membuka fakta-fakta mengejutkan yang selama ini tidak terungkap ke publik. Tercatat adanya praktik kekerasan fisik dan psikis yang dilakukan secara sistematis terhadap peserta Diksar, seperti pencelupan kepala ke lumpur, pemukulan, pemaksaan aktivitas ekstrem di luar batas keselamatan, serta kekerasan verbal yang merendahkan martabat manusia.
Lebih jauh, investigasi mengungkap pelibatan aktif alumni dan senior dalam praktik kekerasan tersebut—baik sebagai pelaku langsung maupun sebagai pihak yang membiarkan kekerasan terjadi. Ini menjadi alarm keras terhadap kegagalan sistemik dalam pengawasan dan pembinaan organisasi mahasiswa oleh otoritas kampus.
Kegagalan struktural juga ditemukan di tingkat fakultas. Lemahnya supervisi dari Wakil Dekan III, pembiaran oleh dosen pembina, serta nihilnya kontrol administratif terhadap kegiatan di luar kampus menjadi bagian dari penyebab kekerasan tak terdeteksi sejak awal.
Organisasi Mahepel sendiri dinilai tidak kooperatif selama proses investigasi. Tim mencatat adanya penolakan pemberian data, penghindaran klarifikasi, serta pengabaian terhadap permintaan akses dokumen kegiatan. Sikap ini dinilai menghalangi proses pencarian kebenaran dan keadilan, serta mencoreng prinsip transparansi yang seharusnya dijunjung tinggi oleh organisasi kemahasiswaan.
Unila menyatakan bahwa seluruh temuan melanggar Peraturan Rektor Unila Nomor 25 Tahun 2020 tentang Hak dan Kewajiban Mahasiswa, Peraturan Rektor Nomor 11 Tahun 2023 tentang Organisasi Kemahasiswaan, serta Permendikbud Ristek Nomor 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Merespons temuan tersebut, tim investigasi merekomendasikan sanksi tegas. Pelaku kekerasan, termasuk alumni, akan dikenai sanksi etik dan/atau hukum, serta dilaporkan kepada aparat penegak hukum bila terbukti terdapat unsur pidana. Alumni juga dilarang terlibat dalam seluruh aktivitas kemahasiswaan di Unila ke depannya.
Sementara itu, organisasi Mahepel diberlakukan pembekuan kegiatan dan moratorium total, disertai reformasi struktural dan ideologis yang harus diawasi ketat oleh tim independen. Jika reformasi gagal dilakukan, Mahepel berisiko dibubarkan secara permanen.
Kebijakan ini tidak hanya berlaku bagi Mahepel. Unila juga akan mewajibkan seluruh Organisasi Mahasiswa (Ormawa) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) untuk menyusun kode etik anti-kekerasan, SOP kegiatan bebas kekerasan, serta pernyataan tertulis komitmen anti-perpeloncoan. Pendampingan aktif dosen pembina akan diwajibkan dalam seluruh proses kegiatan.
Secara khusus, FEB Unila mendapat sorotan. Rekomendasi evaluasi total terhadap tata kelola kemahasiswaan diberikan, mengingat kegagalan fungsi pengawasan dan pembinaan yang terbukti dalam kasus ini.
Sebagai bentuk tanggung jawab, pihak kampus menyatakan akan menyerahkan laporan hasil investigasi kepada kementerian, kepolisian, dan publik. Proses hukum bagi korban maupun pelaku akan difasilitasi, sementara sistem pelaporan kekerasan di setiap fakultas akan diperkuat.
Dalam pernyataan penutupnya, Prof. Senyono menegaskan bahwa Unila tidak akan mentolerir segala bentuk kekerasan dalam lingkungan akademik. Ia juga menyampaikan duka mendalam serta komitmen untuk mendampingi keluarga korban dan memulihkan integritas kelembagaan.
“Kami mengajak semua pihak untuk menjadikan peristiwa ini sebagai refleksi bersama guna memperkuat nilai-nilai kemanusiaan, etika, dan integritas di ruang akademik,” tegasnya.
Peristiwa ini menyisakan luka dan sekaligus menjadi cermin bagi dunia pendidikan tinggi. Kasus Diksar Mahepel bukan sekadar tragedi kemanusiaan, tetapi juga bukti bahwa kultur kekerasan masih hidup dalam ruang-ruang organisasi kampus yang seharusnya menjadi tempat bertumbuhnya nalar dan nilai-nilai peradaban.
Teks: Bagus Kadek Windu Putra