Sempat Anjlok 5,02%, IHSG Menguat ke Level 6.375,51 Setelah Keputusan Suku Bunga

Bandar Lampung, Jumat (21/03/25)

Pada Selasa, 18 Maret 2025, perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) sesi I mengalami penghentian sementara (trading halt) setelah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 5,02% ke level 6.146,91.

Trading halt merupakan kebijakan bursa untuk menghentikan sementara perdagangan saham, biasanya untuk mengoreksi ketidakseimbangan, memperbaiki kesalahan teknis, atau merespons pergerakan indeks yang terlalu cepat. Langkah ini diambil untuk mencegah potensi kerugian investor akibat fluktuasi harga yang ekstrem.

Sekretaris Perusahaan BEI, Kautsar Primadi Nurahmad, menjelaskan bahwa trading halt diberlakukan pada pukul 11:19:31 WIB karena penurunan IHSG mencapai 5%. Langkah ini sesuai dengan Surat Keputusan Direksi BEI Nomor: Kep-00024/BEI/03-2020 tanggal 10 Maret 2020 tentang Perubahan Panduan Penanganan Kelangsungan Perdagangan di Bursa Efek Indonesia dalam Kondisi Darurat. Perdagangan dilanjutkan kembali pukul 11:49:31 WIB tanpa perubahan jadwal.

Pada sesi tersebut, seluruh sektor berada di zona merah. Sektor utilitas turun 12,2%, dan bahan baku turun 9,82%. Saham DCI Indonesia menjadi pemberat utama dengan kontribusi 38,24 poin terhadap penurunan indeks. Saham-saham milik Prajogo Pangestu, seperti Barito Renewables Energy (BREN) dan Chandra Asri Petrochemical (TPIA), masing-masing berkontribusi 30,27 poin dan 29,71 poin terhadap penurunan IHSG.

Selain itu, saham perbankan besar Indonesia juga terkoreksi. Bank Central Asia (BBCA) turun 3,2%, Bank Mandiri (BMRI) turun 5,98%, Bank Rakyat Indonesia (BBRI) turun 4,44%, dan Bank Negara Indonesia (BBNI) turun 5,08%.

Pada hari sebelumnya, Senin, 17 Maret 2025, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia merilis survei yang menunjukkan mayoritas ahli ekonomi (55% dari 42 responden) menilai kondisi ekonomi Indonesia memburuk dibandingkan tiga bulan sebelumnya. Sebanyak 7 ahli menganggap situasi jauh lebih buruk, 11 ahli menilai stagnan, dan hanya 1 ahli melihat perbaikan. Mereka juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi ke depan akan lebih rendah dari angka saat ini.

Analis pasar mengaitkan penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dengan sikap “wait and see” investor menjelang pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) The Fed pada 18-19 Maret 2025. Jajak pendapat CME FedWatch Tools mencatat probabilitas sebesar 98% bahwa The Fed akan mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 4,25% hingga 4,5% dalam pertemuan tersebut.

Setelah hasil pertemuan diumumkan, The Fed benar-benar memutuskan untuk mempertahankan suku bunga di level tersebut, sesuai ekspektasi pasar. Ketua The Fed, Jerome Powell, menyatakan bahwa ekonomi Amerika Serikat tetap kuat, didukung oleh pasar tenaga kerja yang solid dan inflasi yang mendekati target jangka panjang sebesar 2%, meskipun masih sedikit di atas sasaran.

Sejalan dengan keputusan The Fed, Bank Indonesia (BI) dalam Rapat Dewan Gubernur yang digelar pada 18-19 Maret 2025 juga memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan (BI-Rate) di level 5,75%. Keputusan ini diambil untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan mendukung pertumbuhan ekonomi di tengah ketidakpastian global.

Pasar merespons positif kedua keputusan tersebut. Pada perdagangan Kamis pagi, 20 Maret 2025, IHSG dibuka menguat sebesar 63,85 poin atau 1,01% ke posisi 6.375,51. Kenaikan IHSG didorong oleh penguatan di beberapa sektor utama, seperti teknologi yang melonjak 10,6%, sektor energi yang naik 2,72%, dan sektor bahan baku yang meningkat 2,64%.

Analis memperkirakan IHSG akan bergerak konsolidatif di kisaran 6.330 hingga 6.370 dalam beberapa waktu ke depan. Meski terdapat penguatan, investor disarankan tetap mewaspadai potensi aksi jual oleh investor asing yang dapat memengaruhi pergerakan indeks secara signifikan.

Teks: Bagus Kadek Windu Putra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *