RUU TNI Disahkan, Mahasiswa Lampung Terus Suarakan Penolakan

Bandar Lampung, Jumat (21/03/2025)

Di tengah pengesahan Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) oleh DPR RI, mahasiswa Lampung tetap menggelar aksi Kamisan di depan Gedung DPRD Provinsi Lampung. Aksi ini merupakan bentuk protes terhadap disahkannya revisi UU yang mereka nilai berpotensi mengancam demokrasi dan hak sipil masyarakat.

Para peserta menegaskan bahwa meskipun RUU TNI telah disahkan, mereka akan terus menyuarakan penolakan terhadap regulasi yang dinilai memberikan ruang lebih besar bagi militer dalam kehidupan sipil. Mereka mengkritisi sejumlah pasal dalam RUU ini, termasuk Pasal 3, Pasal 47, dan Pasal 53, yang dinilai akan memperluas kewenangan TNI dalam sektor pemerintahan dan menghidupkan kembali dwifungsi militer.

Selain itu, kekhawatiran semakin meningkat karena proses revisi ini dilakukan tanpa keterlibatan masyarakat. RUU tersebut dibahas dalam rapat tertutup di sebuah hotel mewah. Hal ini menimbulkan kesan adanya upaya sembunyi-sembunyi dan kurangnya transparansi dalam proses legislasi.

Haikal Rasyid dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung menilai bahwa revisi UU TNI tidak sejalan dengan prinsip pemisahan antara ranah sipil dan militer dalam sistem demokrasi.

“Pengesahan RUU ini dilakukan secara terburu-buru dan tanpa transparansi, serta minim keterlibatan publik. Padahal, Pasal 96 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengharuskan adanya partisipasi masyarakat dalam setiap tahap legislasi,” jelas Haikal.

Aksi Kamisan ini diwarnai dengan orasi, teatrikal, serta pembentangan spanduk yang menuntut penghapusan pasal-pasal kontroversial dalam RUU TNI. Mahasiswa juga meminta DPRD Lampung untuk menyampaikan aspirasi mereka ke pemerintah pusat agar aturan ini dikaji ulang.

Meski UU telah disahkan, mahasiswa menegaskan bahwa perjuangan mereka belum berakhir. Mereka berjanji akan terus mengawal isu ini dan melakukan aksi lanjutan sebagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan yang dianggap membahayakan kebebasan sipil dan prinsip demokrasi di Indonesia.

Teks: Aris Krisna Setiawan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *