Forum Literatur Gelar Diskusi Terbuka: Polemik Revisi RUU TNI, Ancaman bagi Demokrasi dan Supremasi Sipil?

Bandar Lampung, Selasa (18/03/2025)

Telah terlaksana diskusi terbuka mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI di Balai Rektorat Universitas Lampung (Unila) pada Selas, 18 Maret 2025 yang di selenggarakan oleh Forum Literatur. Acara ini dihadiri oleh berbagai kalangan mahasiswa, baik dari dalam maupun luar Unila, Revisi RUU TNI ini menuai kritik peseta forum diskusi. Mereka menyampaikan kekhawatiran terhadap dampak revisi undang-undang ini terhadap supremasi sipil dan demokrasi di Indonesia.

Diskusi ini berfokus pada revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 yang mengatur tentang TNI. Peserta forum menyoroti bahwa pasca-Reformasi 1998, peran militer dalam urusan sipil semakin dikurangi, yang kemudian dikukuhkan dengan lahirnya UU No. 34/2004. Namun, revisi yang saat ini tengah dibahas DPR dinilai justru membuka kembali ruang bagi militer untuk terlibat dalam ranah sipil.

Salah satu poin utama dalam diskusi adalah kritik terhadap proses pembahasan RUU TNI yang dianggap tidak transparan. Disebutkan bahwa pembahasan dilakukan secara tertutup di sebuah hotel, sehingga terkesan tergesa-gesa untuk mengejar DPR yang akan memasuki masa reses pada 21 Maret 2025. Selain itu, publik dinilai kurang dilibatkan dalam proses demokrasi terkait revisi ini.

Peserta forum menyoroti fakta bahwa setelah kemenangan Prabowo-Gibran dalam Pilpres 2024, muncul berbagai kebijakan yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat. Salah satunya adalah revisi RUU TNI, yang dianggap memihak kepentingan kelompok tertentu dibandingkan memperkuat profesionalisme TNI sebagai lembaga pertahanan negara.

Diskusi juga menyoroti kekhawatiran akan kembalinya praktik dwifungsi ABRI, di mana prajurit aktif berpotensi menduduki jabatan-jabatan sipil. Hal ini semakin dikhawatirkan dengan tersebarnya draf revisi RUU yang memungkinkan penempatan anggota TNI aktif di berbagai lembaga yang dianggap “membutuhkan” dengan pengaturan oleh presiden.

Salah satu peserta diskusi menyampaikan kekhawatirannya, “Jika hal ini sampai terjadi, maka perwira TNI akan bisa menduduki jabatan apa pun selama presiden merasa membutuhkan. Semuanya akan serba bisa dan serba boleh,” ujarnya.

Selain itu, dalam draf RUU TNI yang beredar, perwira aktif TNI dapat menduduki jabatan di 16 lembaga pemerintahan, di antaranya Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung. Peserta forum menilai hal ini berpotensi memberikan imunitas hukum bagi TNI, yang bertentangan dengan prinsip supremasi sipil.

Salah seorang peserta menyampaikan kritiknya, “Apa urgensinya pihak militer yang memiliki riwayat memonopoli kekerasan untuk masuk ke dalam lembaga peradilan?” ucapnya.

Peserta forum menilai bahwa hal ini membuka celah intervensi militer dalam berbagai sektor, termasuk lembaga peradilan dan pemerintahan, yang seharusnya berada di bawah kontrol sipil. Kekhawatiran ini semakin nyata dengan keberadaan sebelas purnawirawan dan perwira aktif TNI yang saat ini menjabat dalam Kabinet Merah Putih.

Namun, di sisi lain, Ketua DPR sekaligus Ketua DPP PDIP, Puan Maharani, menilai bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan terkait substansi revisi RUU TNI. Menurutnya, revisi ini dilakukan untuk menyempurnakan tugas pokok TNI agar lebih adaptif terhadap kebutuhan nasional. Dukungan ini menunjukkan adanya perubahan sikap dari PDIP, yang sebelumnya sempat menolak revisi ini.

Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi menjelaskan alasan penambahan pos jabatan sipil yang bisa diduduki oleh prajurit Tentara Nasional Indonesia dalam revisi RUU TNI. Ia mengatakan penambahan lembaga sipil itu karena sudah ada prajurit aktif yang menduduki beberapa pos kementerian dan lembaga tersebut sebelum revisi undang-undang. Salah satu pos jabatan sipil yang dimaksudkannya adalah Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer (Jampidmil) Kejaksaan Agung.

“Sudah ada sebelumnya tapi belum ada di UU TNI. Misalnya Jampidmil, lalu ada peradilan militer di Mahkamah Agung,” kata Hasan di Jakarta, Senin, 17 Maret 2025.

Selain itu, kata Hasan, penambahan pos jabatan sipil dibutuhkan untuk pembentukan badan baru, seperti Dewan Pertahanan Nasional (DPN). Ia mengklaim, pertimbangan TNI aktif bisa mengisi jabatan sipil berdasarkan pengalaman dan kemampuan.

Sebagai tindak lanjut dari diskusi ini, peserta forum sepakat untuk melakukan konsolidasi lanjutan yang akan digelar pada Rabu, 19 Maret 2025, pukul 15.30 WIB di Balai Rektorat Unila.

Para peserta menegaskan bahwa demokrasi dan militerisme adalah dua hal yang bertentangan. Oleh karena itu, mereka mendesak agar TNI tetap profesional dan tidak kembali terlibat dalam urusan sipil sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Reformasi 1998.

Seiring dengan pernyataan resmi dari Kementerian Sekretariat Negara bahwa RUU TNI akan disahkan pada 20 Maret 2025, peserta forum menegaskan bahwa perjuangan mereka belum berakhir. Mereka akan terus mengawal kebijakan ini agar tidak mengancam demokrasi dan supremasi sipil di Indonesia.

Teks: Aris Krisna Setiawan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *