Bandar Lampung, Selasa (3/6/2025)
Seminggu lebih publik menanti perkembangan kasus kematian Pratama Wijaya Kesuma yang diduga kuat akibat kekerasan dalam kegiatan diksar Mahasiswa Ekonomi Pecinta Alam (Mahepel), belum menunjukkan titik terang.
Berdasarkan informasi yang didapat tim Pilar Ekonomi melalui siaran pers yang dipublikasikan oleh Aliansi Mahasiswa FEB Menggugat bersama BEM Unila, telah melaporkan kasus ini secara resmi kepada Gubernur Provinsi Lampung, Rahmat Mirzani Djausal, S.T., M.M. Menanggapi laporan tersebut, Gubernur Mirza menyatakan bahwa insiden ini tidak bisa dianggap sepele dan menegaskan pentingnya penanganan melalui mekanisme yang adil dan transparan.
Sebagai bentuk keseriusan serta komitmen dalam mengawal proses penegakan keadilan, Gubernur Mirza telah melaporkan kasus ini kepada Ibu Ruby Chairani Syiffadia, anggota Komisi X DPR RI Dapil Lampung, yang secara kelembagaan memiliki kewenangan dalam bidang pendidikan dan perlindungan generasi muda. Aliansi mahasiswa menyatakan bahwa langkah ini dapat menjadi titik terang, serta menunjukkan bahwa pemerintah daerah menaruh perhatian serius terhadap praktik kekerasan dan pembungkaman di lingkungan pendidikan tinggi.
Selain itu, Gubernur juga telah meminta Kapolda Lampung, Irjen Pol. Helmy Santika, untuk menangani kasus ini secara langsung, mengingat adanya unsur pidana yang tidak bisa diselesaikan semata melalui mekanisme internal kampus.
Di sisi lain, pihak kampus sendiri mengklaim telah membentuk tim investigasi untuk mengusut tuntas tragedi kekerasan Diksar Mahepel ini. Dalam sesi wawancara yang dilakukan pasca konsolidasi akbar (02/06), Khairil Ambri (Teknik Lingkungan 2022) selaku perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Keluarga Besar Mahasiswa (KBM) Unila menyampaikan, “Birokrat (Rektorat Unila) telah membentuk tim investigasi, namun, hingga saat ini belum ada kejelasan terkait tim investigasi ini.” Khairil melanjutkan, “Tidak ada transparansi terkait tim investigasi, jadi sejauh ini kami tidak mengetahui timnya siapa dan sejauh apa progres tim investigasi ini,” ucapnya.
Baik aliansi maupun BEM Unila, keduanya sama-sama menyoroti tidak adanya kejelasan terkait waktu pelaksanaan, ruang lingkup kerja, maupun mekanisme pertanggungjawaban publik dari investigasi kampus.
“Kami sudah beberapa kali meminta timeline dan transparansi proses, tapi tidak pernah ada kejelasan,” ujar perwakilan aliansi. Hal ini memperkuat kekhawatiran bahwa tim investigasi tersebut hanya bersifat “simbolis” atau dibentuk untuk sekedar meredam tekanan publik dan membangun narasi yang membebaskan birokrasi kampus dari tanggung jawab.
Kekhawatiran atas penanganan kasus ini semakin menguat setelah pernyataan resmi Dekan FEB Unila yang sempat beredar di media. Pernyataan tersebut mengindikasikan adanya harapan dari pihak dekanat bahwa hasil investigasi internal akan memperkuat posisi mereka sebagai pihak yang tidak bersalah. Sikap ini dinilai mencederai prinsip netralitas dan objektivitas dalam proses penyelidikan.
Lebih dari itu, alih-alih melindungi korban, justru ada dugaan bahwa pihak dekanat FEB Unila melakukan tekanan dan pembungkaman terhadap korban. Tindakan tersebut dianggap sebagai bentuk serius dari obstruction of justice serta reviktimisasi.
Di sisi lain, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung menyatakan kesiapannya memberikan pendampingan hukum kepada keluarga almarhum Pratama Wijaya Kesuma. Pendampingan tersebut mencakup penyediaan kuasa hukum untuk memastikan keluarga mendapatkan perlindungan serta dukungan legal yang memadai selama proses penegakan hukum berlangsung.
Sebagai bentuk langkah nyata, aliansi mendesak pembekuan organisasi mahasiswa yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Mereka juga menuntut agar pihak dekanat yang terbukti melakukan pembungkaman, melindungi pelaku, atau menghalangi proses keadilan dijatuhi sanksi tegas. Aliansi menekankan bahwa penyelesaian tidak cukup melalui permintaan maaf seremonial, tetapi harus diwujudkan melalui sanksi administratif, etik, hingga pidana jika diperlukan.
Aliansi FEB Menggugat bersama BEM UNILA turut menyerukan solidaritas dari kalangan mahasiswa, alumni, akademisi, organisasi masyarakat sipil, serta media untuk terus mengawal jalannya proses hukum dan reformasi internal kampus. Mereka menekankan pentingnya peran media dalam menyampaikan informasi secara objektif dan bertanggung jawab kepada publik.
“Kami tidak akan diam sampai seluruh yang terlibat diberi sanksi. Kami tidak akan berhenti hingga sistem kampus bersih dari budaya kekerasan dan ketakutan,” tegas pernyataan aliansi.
Teks: Aris Krisna Setiawan
Penyunting: Bagus Kadek Windu Putra