Pagi itu, kepanikan meliputi ayahanda mendiang Pratama Wijaya Kusuma. Ia tak sanggup menyaksikan istrinya, Wirna, berlarian mengelilingi rumah, berteriak mencari putra mereka, “Nak, di mana kamu, Nak!” Suara Wirna pecah saat menuturkan bagaimana gema kehadiran almarhum Pratama masih terasa hangat di setiap sudut rumah.
Almarhum Pratama Wijaya Kusuma merupakan mahasiswa Program Studi S1 Bisnis Digital Universitas Lampung, yang pada tanggal 14—17 November 2024 sempat mengikuti Pendidikan dan Latihan Dasar (Diksar) di Hutan Desa Talang Mulya, Pesawaran. Kegiatan ini diadakan oleh Mahasiswa Ekonomi Pencinta Alam (Mahepel), salah satu unit kegiatan mahasiswa (UKM) di bawah naungan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Lampung (Unila).
Duka mendalam akibat kepergian Pratama tak hanya dirasakan oleh keluarga intinya. Suasana kesedihan juga menyelimuti rekan seperjuangannya semasa berkuliah di Unila, terutama Muhammad Arnando Al Faaris. Faaris, yang juga merupakan salah satu penyintas dari insiden kekerasan di diksar Mahepel tersebut, mengaku bahwa kepergian Pratama adalah pukulan telak baginya. Tak hanya itu, rasa muak yang begitu mendalam membuat Faaris memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai mahasiswa Universitas Lampung, sebuah pilihan pahit yang diambil setelah kepergian sahabat karibnya itu.
Diksar Mahepel
Dari keterangan yang didapat tim investigasi Pilar Ekonomi pada Kamis (14/11/2024), enam orang calon anggota Mahepel ditemani dua orang panitia kegiatan Diksar turun dari sebuah mobil pick up di halaman salah satu masjid di daerah Teluk Betung, Bandar Lampung. Sembari menggendong tas carrier miliknya, Faaris kebingungan, “Bukanlah seharusnya kami berangkat ke Desa Talang Mulya, namun kenapa turunnya di daerah Teluk?” papar Faaris kepada kami. “Ah, mungkin hanya beristirahat sejenak,” pikirnya.
Namun, kenyataan berkata lain. Faaris bersama kelima rekannya ternyata diinstruksikan untuk berjalan kaki dari daerah Teluk Betung hingga ke Hutan Desa Talang Mulya yang menyita waktu kurang lebih 15 jam. Tak hanya itu, panitia kegiatan juga meminta pada keenam calon anggota ini untuk mengumpulkan ponsel dan dompet mereka.
Dalam perjalanan menuju lokasi kegiatan, Faaris dan lima rekannya dihadapkan pada peraturan ketat dan intimidasi dari panitia. Salah seorang pengurus dengan tegas menginstruksikan, “Kalian ini berenam satu badan, satu membuat kesalahan semua menerima hukuman.” Ancaman ini bukan gertakan kosong, setiap kesalahan kelompok akan diganjar hukuman satu seri (25 kali push-up). Tekanan fisik dan mental ini mulai memakan korban bahkan sebelum tiba di tujuan. Raja, salah satu peserta dalam rombongan tersebut, sempat mengeluhkan pusing dan muntah akibat kelelahan ekstrem yang ia alami di tengah perjalanan.
Kurang lebih pukul 11.00 esok harinya ketika rombongan tiba di Desa Talang Mulya, almarhum Pratama sudah menunjukkan gelagat tidak sanggup melanjutkan kegiatan. “Saat itu Pratama sudah kesulitan berjalan, badannya pun mulai gemetar,” ucap Faaris.
Pukul 15.00 WIB sore hari menjadi penanda dimulainya fase yang lebih berat. Belum tiba di lokasi, mereka sudah diadang dengan perintah jongkok sambil menyanyikan yel-yel dan jargon, sebuah ritual yang cukup ironis mengingat mereka sudah cukup lelah berjalan, namun masih harus menghadapi ritual melelahkan ini. Sesampainya di pos, para peserta langsung dihadapkan pada “utang hukuman” sebanyak 25 seri push-up. Setelah permohonan, hukuman itu dikurangi menjadi 5 seri, namun keenam korban hanya sanggup menyelesaikan 3,5 seri.
Setibanya di pos utama, terlihat antara lima hingga delapan senior sudah menanti, empat di antaranya perempuan. Di sana, mereka diberikan makanan. Salah seorang kating berkata dengan nada menenangkan sambil memberikan camilan, “Yang sabar ya, tiap tahun memang begini. Kalian yang sabar.” Namun, kelegaan itu hanya sesaat. Setelah sesi kembali dimulai, tekanan dan rentetan kegiatan berat kembali dilanjutkan.
Puncak Kekejaman
Jumat malam, menjadi titik di mana kekerasan dalam kegiatan ini mencapai puncaknya. Sesi diawali dengan baris-berbaris dan push-up, namun kali ini panitia terlihat jelas mulai emosional dan agresif. Kekerasan terhadap calon anggota semakin masif. Pratama langsung menjadi sasaran utama kemarahan. Ia tidak hanya menerima kekerasan fisik, tetapi juga verbal oleh salah satu terduga pelaku berinisial A. Pratama ditendang di perut hingga terjatuh sembari dicaci “lemah”. Ketika ada rekan yang mencoba membantu, mereka justru dimarahi dan dilarang.
Faaris, yang ditunjuk sebagai jenderal rombongan, menerima tamparan berkali-kali. Selain Faaris, kelima calon anggota lainnya juga menerima tamparan serupa. Selama empat jam berikutnya, mereka dipaksa merangkak berputar-putar layaknya latihan militer di medan yang berat dan berbatu. Pukulan dan tamparan menjadi “makanan” sehari-hari mereka.
Memasuki Sabtu sore hingga malam, kondisi semakin memprihatinkan. Faaris mengalami tamparan keras di area telinga oleh terduga pelaku berinisial S yang mengakibatkan dirinya kehilangan kemampuan mendengar pada telinga kiri. Tak hanya menerima tamparan, dalam seri push-up yang dialami para korban, salah dua korban juga mengalami kekerasan di area kepala, di mana saat melakukan push-up kepala mereka ditempel dan ditekan kaki oleh terduga pelaku hingga lumpur pun terpaksa tertelan. Selain itu, stok makanan menipis drastis, hanya tersisa sedikit beras dan air, memaksa para calon anggota mengonsumsi dedaunan dan buah-buahan yang ada di alam. Di tengah kondisi yang serba kekurangan, Pratama secara tidak sadar meminum spiritus.
Hukuman fisik berlanjut dengan merangkak mengelilingi sawah yang berbatu. Kehausan ekstrem mendorong Faaris untuk meminum air sawah. Kekejaman ini meninggalkan bekas nyata; salah satu korban (Raja) kehilangan dua kuku kaki akibat merangkak di medan tersebut. Meskipun sempat diobati, korban dipaksa melanjutkan merangkak. Pratama sendiri diseret oleh terduga pelaku hingga mengalami luka lecet di sekujur tubuhnya.
Puncak kekejaman terjadi pada malam hari. Malam itu, turut juga hadir bukan hanya pengurus periode sebelumnya, tetapi juga alumni mahepel mulai dari tahun 1997. Setelah mereka diizinkan tidur pukul 23.00 WIB, namun hanya berselang dua jam kemudian, pukul 01.00 WIB, mereka dibangunkan secara paksa. Tenda yang mereka bangun dihancurkan sembari mereka dibangunkan. Mereka kemudian diperintah merangkak dari tenda ke lapangan, di medan yang penuh batu.
Kegiatan ‘post to post’ yang dilakukan satu per satu di enam pos berbeda menjadi ajang kekerasan paling brutal. Di pos-pos ini, panitia, pengurus, hingga alumni turut serta terlibat. Di salah satu pos krusial, para peserta diancam keras agar tidak kabur, membocorkan, atau melaporkan kejadian malam itu. Setelah ancaman tersebut, setiap korban menerima bentuk kekerasan yang berbeda-beda. Faaris, secara khusus, dipaksa makan cabai. Di pos mental dan fisik, kekerasan mencapai tingkat paling parah. Setiap orang diperintah melakukan dua belas seri push-up. Faaris, yang fisiknya sudah ambruk, mencoba pura-pura sesak napas, namun sisa empat seri hukumannya justru dilempar kepada rekannya. Di sinilah tendangan yang benar-benar kuat dilayangkan kepada para peserta. Terduga pelaku lain berinisial I secara khusus menampar paling kencang Faaris di area telinga, serta menendang juga memukul area dada dan tangan. Faaris sendiri merasa fisiknya sudah hampir ambruk. Pratama menunjukkan kondisi paling parah, seperti zombi, seluruh tubuhnya sudah tidak sanggup menahan beban.
Dampak Pahit Pasca Tragedi
Kamis (28/11/2024), Faaris mengunjungi Rumah Sakit Urip Sumoharjo (RSUS) Bandar Lampung dan didiagnosis dokter mengalami gendang telinga pecah. Tak hanya gendang telinga pecah, pascakejadian Faaris mengalami lebam-lebam di sekujur badan.
Korban Faaris sendiri mengalami kerugian senilai Rp2.000.000,00 untuk biaya terkait pengobatan gendang telinganya. Namun hingga faaris mengadakan sesi wawancara dengan kami, dirinya mengaku hanya mendapat bantuan senilai Rp500.000,00, sangat tidak sebanding dengan kerugian yang ia alami.
Dua minggu kemudian (Desember), ayahanda Faaris yang merasa tidak terima mencoba melaporkan kejadian yang dialaminya kepada pihak dekanat, dalam hal ini Wakil Dekan III (Wadek III) Bidang Kemahasiswaan dan Alumni FEB Unila Dr. Neli Aida, S.E., M.Si. Mendapati laporan ini, Wadek III FEB Unila memanggil Faaris beserta kelima korban lainnya ke ruangannya.
Pada Rabu (11/12/2024), alih-alih mendapatkan keadilan, keenam penyintas justru dihadapkan pada situasi yang kian menekan. Pihak dekanat Universitas Lampung menyodorkan selembar surat pernyataan yang secara eksplisit menyebutkan bahwa para peserta tidak akan mengajukan tuntutan apapun, seolah tanpa paksaan. Faaris, yang merasa keadilan jauh panggang dari api, menolak keras untuk menandatangani surat tersebut.
Belum genap dua minggu berselang, tepatnya pada kamis (19/12/2024), saat Faaris mencoba membuka tabir kebenaran ke mata publik melalui sesi wawancara pertama dengan pihak Pilar Ekonomi, ia justru dicegat oleh seorang tersangka berinisial A. Dalam pertemuan itu, A menceritakan kisah-kisah terkait mahasiswa hilang, sebuah narasi yang kuat mengindikasikan upaya untuk menakut-nakuti dan mengintimidasi Faaris agar tidak melanjutkan pengungkapan kasus ini. Intimidasi ini berbuah nyata, Faaris yang dilanda ketakutan memilih untuk bungkam kembali, menahan diri untuk tidak berbicara lebih jauh tentang apa yang ia alami dan saksikan. Keadaan ini terus berlanjut hingga suatu ketika sesuatu menimpa sahabat karibnya.
Di lain sisi, berdasarkan keterangan ibunda almarhum Pratama (Wirna), tepat saat ia menjemput putranya di Universitas Lampung (17/11/2024), dua orang wanita panitia kegiatan Diksar sempat mendatanginya sembari memberikan keterangan bahwa korban telah diobati.
Namun, setibanya di rumah Wirna justru mendapati putranya tak sadarkan diri pascakejadian, sebuah pertanda awal dari kondisi tubuhnya yang mulai ambruk. Selain itu, keesokan paginya, Wirna juga mendapati salah satu luka paling nyata, kuku jempol kiri putranya hilang.
Melihat kondisi putranya, Wirna mendesak agar Pratama berobat dan melakukan visum sebagai dasar untuk melaporkan kejadian tersebut. Namun, Pratama menolak keras. Sang ibu mengungkapkan, “Almarhum takut dicari, ia takut kehidupan pribadi keluarga dan dirinya terancam.” Pratama sendiri tidak memiliki riwayat penyakit serius sebelumnya.
Gejala Medis Awal dan Diagnosis yang Mengejutkan
Pada periode November 2024 hingga Januari 2025, Pratama mulai menunjukkan gejala aneh. Ia sering mengeluh lemas, sakit-sakitan, dan beberapa kali terjatuh atau tergelincir (tanpa benturan di kepala). Tubuhnya terasa nyeri di sana-sini.
Memasuki Februari 2025, kondisi Pratama menunjukkan penurunan drastis, diawali dengan keluhan muntah-muntah hebat. Ia pun dilarikan ke Rumah Sakit Bintang Amin (RSBA). Di sana, hasil rontgen menunjukkan adanya gumpalan darah di kepala Pratama. Selain itu, terdapat juga indikasi tumor kecil yang masih harus diobservasi lebih lanjut. Wirna juga mendapati tangan Pratama mengalami kebas dan tremor, gejala yang sangat relevan karena kondisi ini umum terjadi pada pasien yang mengalami strok atau trauma kepala berat.
Melihat temuan tersebut, pihak Rumah Sakit Bintang Amin segera memberikan rujukan kepada Pratama untuk dibawa ke dokter saraf di Rumah Sakit Umum Daerah Abdoel Moeloek (RSUDAM) guna menjalani penanganan lebih lanjut, termasuk potensi operasi. Ironisnya, saat pemeriksaan medis ini, Pratama diduga berusaha menutupi penyebab cedera dan luka-lukanya dari para tenaga medis.
Seorang bidan yang telah merawat Pratama sejak kecil, dihubungi via telepon, memberikan kesaksian penting. Ia mengungkapkan bahwa pada kunjungan terakhir di bulan November 2024, Pratama mengeluh pusing dan terdapat lebam-lebam di sekujur tubuhnya, namun Pratama tidak mau mengaku penyebabnya. Ia menegaskan, “Terkait gumpalan di kepala, penyebabnya bisa dikarenakan trauma di area kepala akibat benturan kencang ataupun pukulan benda tumpul. Namun untuk gejala dan komplikasi lanjutannya memang ada yang cepat ada juga yang lambat.” Bidan tersebut juga menyatakan, “Kebas dan tremor biasanya terjadi pada pasien strok atau trauma kepala akibat sumbatan di kepala (gumpalan darah). Penyebabnya bisa jadi karena pukulan benda tumpul.”
Empat hari sebelum Lebaran, tepatnya pada Kamis (27/03/2025) pukul 13.00 WIB, Pratama menjalani operasi besar di RSUD Abdoel Moeloek. Operasi tersebut berhasil mengeluarkan gumpalan darah dan sekaligus mengonfirmasi keberadaan tumor kecil. Pascaoperasi, kondisi mata Pratama menunjukkan kejanggalan. Setelah menjalani operasi selama 31 jam, Senin (31/03/2025) Pratama dipulangkan ke kediamannya. Pascaoperasi, Pratama sempat menjalani masa Lebaran di rumah dalam kondisi yang relatif normal, hanya lemas seperti layaknya pasien pascaoperasi.
Namun, kondisi normal ini tidak bertahan lama. Hingga Senin (28/04/2025), Pratama kembali mengeluh sakit kepala hebat. Kondisinya memburuk drastis, sehingga pada subuh hari itu, ia harus dilarikan lagi ke RSUD Abdoel Moeloek. Saat itu, kondisi almarhum sudah sangat memprihatinkan, ia lemas hingga perlu dipapah dan wajahnya pucat pasi.
Hingga akhirnya sekitar pukul 17.00 WIB di hari yang sama, Pratama mengembuskan napas terakhirnya, ia dinyatakan meninggal dunia. Pada detik-detik terakhirnya, Pratama sempat menangis. Wirna, yang menyaksikan kondisi putranya terus memburuk, sempat histeris dan pingsan beberapa kali pada tanggal tersebut.
Respons Pihak Kampus dan Upaya Pembungkaman
Sehari setelah kematian Pratama (29/04/2025), Kaprodi Bisnis Digital FEB Unila, Yuniarti Fihartini, S.E., M.Si., mendatangi kediaman keluarga korban. Tiga hari kemudian (02/05/2025), Wadek III Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, Dr. Neli Aida, S.E., M.Si., turut berkunjung, menanyakan apakah Wirna berencana menuntut pihak yang bertanggung jawab. “Kalau saya mungkin enggak, Bu. Saya lagi lemah,” jawab sang ibu dengan nada pilu, masih dirundung duka mendalam.
Kunjungan itu tidak berhenti di sana. Pihak kampus juga meminta ibu Pratama untuk menghapus unggahan di akun Facebooknya, Novita Khairun Nisa, yang berkaitan dengan kasus putranya. Permintaan ini mengindikasikan adanya upaya pembungkaman terhadap informasi yang beredar di publik. Wirna sempat meminta permohonan maaf langsung dari pihak Mahepel, UKM yang bertanggung jawab atas tragedi yang menimpa putranya itu. Namun, hingga saat tim investigasi melakukan wawancara (27/05/2025), tidak ada permintaan maaf dan pengakuan resmi dari Mahepel.
Komunikasi Terputus dan Ketiadaan Bantuan
Setelah kematian Pratama, Muhammad Arnando Al Faaris, rekan sekaligus salah satu penyintas, memberikan kontak pihak Mahepel kepada Wirna. Sempat terjadi percakapan via WhatsApp antara Wirna dan pihak Mahepel, namun komunikasi itu tidak berlanjut atau bersifat satu arah hingga akhirnya kontak Wirna pun diblokir.
Sikap pihak universitas juga menjadi sorotan. Tidak ada tali asih atau santunan finansial dari pihak Unila. Pihak dekanat hanya datang membawa makanan tanpa memberikan bantuan lebih lanjut kepada keluarga korban. Lebih lanjut, tidak ada bantuan untuk melaporkan kejadian ini secara hukum. Justru, Wadek III sempat bercerita tentang kasus cucunya yang meninggal terkait BPOM, sebuah cerita yang diindikasikan sebagai gertakan atau upaya intimidasi dengan narasi “saya sudah habis banyak kasus tersebut,” seolah menyiratkan betapa sulitnya proses hukum terkait kasus serupa.
Hukuman Ringan di Tengah Tragedi
Alih-alih menerima sanksi tegas atau dimintai pertanggungjawaban penuh atas tragedi kekerasan ini, Mahepel, organisasi yang seharusnya memikul tanggung jawab besar, justru mendapat respons yang berbanding terbalik. Keputusan ini lahir dari sidang terhadap ketua dan pengurus yang digelar dekanat pada 12 Desember 2024, turut dihadiri oleh pembina dan alumni.
Dari sidang tersebut, para pengurus yang terlibat dalam kekerasan brutal tersebut hanya dijatuhi hukuman membersihkan Embung. Tak hanya itu, mereka hanya diberikan saran agar tidak mengulangi perbuatan serupa dan diwajibkan untuk membawa dokter pada kegiatan diksar berikutnya. Tak ada tindakan serius seperti pembekuan organisasi ataupun ganti rugi yang sepadan terhadap para korban, termasuk almarhum Pratama. Ini menimbulkan pertanyaan besar tentang komitmen pihak berwenang dalam menegakkan keadilan dan melindungi mahasiswa dari praktik kekerasan.
Teks: Aris Krisna Setiawan
Foto: M. Arnando Al Faaris
Penyunting: Khadijah Raihan