Demonstrasi dan Klarifikasi: Dua Suara dalam Polemik Diksar Mahepel Unila

Bandar Lampung, Rabu (4/6/2025)

Aliansi Mahasiswa Universitas Lampung (Unila) kembali menggelar aksi demonstrasi di depan Gedung Rektorat Unila pada Selasa (3/6), menuntut pengusutan kasus dugaan kekerasan fisik dan pembungkaman yang dialami mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB). Aksi ini merupakan lanjutan dari demonstrasi sebelumnya yang berlangsung pada Rabu (28/5).

Massa aksi memulai pergerakan dari titik kumpul Shuttle Bus Unila pukul 13.00 WIB, kemudian melakukan longmarch ke sejumlah fakultas dimulai dari FKIP, FP, FT, FISIP, FH, hingga FEB, dan berakhir di depan Gedung Rektorat sekitar pukul 14.45 WIB.

Dalam aksi tersebut, mahasiswa menyuarakan empat tuntutan utama:

  1. Menyampaikan duka cita sedalam-dalamnya terhadap saudara kami, Pratama, serta korban lainnya yang juga mengalami luka.
  2. Mengusut kasus pembungkaman dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh anggota Mahapel dan WD III melalui perantara Kasubbag Kemahasiswaan dan Alumni FEB untuk dibawa ke ranah hukum.
  3. Menuntut birokrat untuk menghapus organisasi mahasiswa Mahapel.
  4. Menuntut pihak yang bertanda tangan (WD III, ketua umum, ketua pelaksana, pembina) untuk bertanggung jawab atas kasus ini.

Aksi di FEB sempat memanas setelah mahasiswa menilai tanggapan Dekan FEB Prof. Nairobi tidak memuaskan. Meskipun menyatakan tidak pernah melakukan pembungkaman, mahasiswa mengklaim memiliki bukti berupa tangkapan layar pesan WhatsApp dan surat yang menunjukkan adanya intimidasi. “Ada bukti chat-nya, Pak. Dekan FEB dan wakil dekan melakukan intimidasi,” ujar salah satu demonstran.

Selain itu, Prof. Nairobi menyatakan keinginannya untuk membubarkan Mahepel, namun mengaku menunggu instruksi dari pimpinan universitas. Sementara itu, Wakil Dekan III FEB, Neli Aida, menyampaikan bahwa dirinya hanya mengikuti arahan dari dekan dan tidak memiliki wewenang untuk membubarkan organisasi tersebut.

Tidak mendapat jawaban yang memuaskan dari dekanat, massa bergerak ke Gedung Rektorat untuk menyampaikan tuntutan secara langsung kepada pihak rektorat. Di hadapan mahasiswa, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, Prof. Sunyono, menjelaskan bahwa pihak kampus telah membentuk tim investigasi yang melibatkan dua anggota BEM dan satu anggota DPM.

Dalam tim investigasi sudah ada dua anggota BEM dan satu anggota DPM. Terkait transparansi, kita secara bertahap akan melakukan konferensi pers,” katanya.

Sebagai hasil dari aksi tersebut, Rektor Unila menyetujui penghapusan sementara organisasi Mahepel. Ormawa tersebut akan diperbolehkan aktif kembali jika tidak terbukti bersalah dalam proses investigasi. Ariz Tadilah Tanjung, Menteri Kajian dan Strategi, juga menunjukkan sejumlah barang bukti, seperti surat pernyataan dari pihak Mahepel, foto luka lebam yang dialami almarhum Pratama, dan tangkapan layar pesan WhatsApp yang diduga berisi intimidasi. 

Faturahman Alam, Menteri Koordinator Pergerakan, menambahkan bahwa laporan resmi terkait kasus Pratama telah diajukan ke Polda Lampung pada hari yang sama. “Untuk laporan sudah diajukan, tadi habis zuhur ke Polda,” pungkasnya.

Di saat yang bersamaan UKM Mahasiswa Pecinta Lingkungan (Mahepel) FEB Unila menggelar konferensi pers pada Selasa (3/6) pukul 14.00 WIB di Sekretariat DPC IKADIN Bandar Lampung. Dalam konferensi tersebut, Mahepel menghadirkan Ketua Umum tahun 2025, Ahmad Fadhilah, yang didampingi oleh kuasa hukum, Candra Bangkit, untuk memberikan klarifikasi atas berbagai isu yang beredar terkait kegiatan pendidikan dasar (diksar) pada November 2024.

Candra Bangkit menyampaikan bahwa ada enam poin yang di klarifikasi dalam kesempatan ini, yaitu:

  1. Tidak ada tindakan kekerasan terorganisasi
  2. Isu minum spiritus
  3. Tuduhan tanggal dan penyebab kematian yang salah
  4. Masalah pendengaran peserta
  5. Kegiatan longmarch dan isu kehausan
  6. Tindakan kolektif dan evaluatif

Ia menegaskan bahwa tidak terdapat kekerasan yang dilakukan secara terorganisasi selama kegiatan diksar.

“Mahepel secara organisasi tegas bahwa tidak ada kekerasan, baik dalam tahapan administrasi sampai dengan pelatihan atau diksar pada 14–17 November 2024. Luka-luka yang ada itu bukan dari kekerasan fisik atau pukulan ataupun apa pun dari Mahepel, tapi itu didapat dari perjalanan alamnya, ketumbur waktu ngerayap, gitu. Tapi bukan karena ada kontak fisik dengan kawan-kawan Mahepel,” ungkapnya.

Ahmad Fadhilah, Ketua Umum Mahepel 2025, turut membagikan pengalamannya selama mengikuti kegiatan diksar.

“Selama saya mengikuti diksar, tidak ada tindak kekerasan atau kontak fisik. Kalau untuk push-up, sit-up, itu bertujuan untuk meningkatkan fisik dari seorang peserta,” ucapnya.

Pihak Mahepel juga menyampaikan bahwa mereka telah melakukan investigasi kecil dan mendapatkan informasi bahwa almarhum Pratama mulai sakit pada Maret, dan masih mengikuti perkuliahan pada Februari.

“Setahu kami, kami melakukan investigasi kecil dari tetangga ataupun informasi yang lain bahwa saudara Pratama ini mulai sakit di bulan Maret, antara tanggal 10–26, dan masih kuliah di bulan Februari,” katanya.

Terkait isu meminum spiritus oleh almarhum Pratama, Candra Bangkit menjelaskan bahwa peristiwa tersebut merupakan ketidaksengajaan.

“Isu tentang minum spiritus, sangat tegas, itu tidak ada sama sekali. Kejadian minum spiritus memang ada, tapi itu terjadi saat kawan-kawan peserta sedang masak, dan saudara Pratama ini salah ambil minuman karena posisi malam. Yang diminum itu botol spiritus, tapi enggak sampai keminum karena langsung disembur. Itu dari keterangan peserta yang lain juga,” ujarnya.

Mahepel juga mengklaim memiliki dokumentasi yang menunjukkan bahwa seluruh peserta, termasuk almarhum Pratama, dalam kondisi sehat secara fisik hingga dua hari setelah kegiatan diksar, serta ikut serta dalam rapat dan kegiatan mencuci alat.

“Jadi, diksar itu dilakukan pada 14–17 November. Dalam perjalanannya, ada dokumentasi di kita bahwa seluruh peserta dalam keadaan sehat secara fisik, tidak ada luka yang serius. Itu sampai dua hari setelahnya, ada rapat dan cuci alat. Saudara alm. Pratama masih hadir juga tanpa ada keluhan,” katanya.

Candra Bangkit juga membenarkan adanya keluhan gangguan pendengaran dari salah satu peserta, yakni Fariz. Ia menegaskan bahwa Mahepel telah melakukan pendampingan medis dan menemui orang tua peserta tersebut.

“Yang ada keluhan itu saudara Fariz. Dia ada keluhan terhadap pendengarannya, telinganya. Kawan-kawan Mahepel beritikad baik dengan membawanya berobat ke RS Urip Sumoharjo. Saat pemeriksaan, didampingi oleh kawan-kawan Mahepel,” jelasnya.

“Bukan pecah gendang telinga, tapi infeksi telinga akibat bakteri. Rekam medisnya berbicara begitu. Karena ada pendidikan di air, kemungkinan terkena bakteri di situ. Kami sudah bertanggung jawab melakukan pengobatan dan menemui orang tuanya pada bulan November 2024,” tambahnya.

Candra juga menegaskan bahwa konferensi pers ini tidak bertujuan untuk menentang pihak keluarga almarhum Pratama, dan pihak Mahepel siap bekerja sama dengan proses hukum.

“Keterangan kami ini sama sekali tidak ada tujuan untuk berlawanan dengan orang tua Pratama. Kami sangat berduka, dan kedepannya kami menunggu panggilan kepolisian serta berharap dapat duduk bersama orang tuanya,” ujarnya.

Sementara itu, Ahmad Fadhilah menuturkan bahwa Mahepel akan terus menjalankan kegiatan positif meskipun dibekukan, serta berkomitmen untuk mengevaluasi seluruh aktivitas organisasi. “Harapan jika dibekukan, menurut saya, pertama yang akan saya lakukan adalah tetap melanjutkan aktivitas yang menurut kami positif,” katanya.

“Kami akan mengevaluasi semua acara kegiatan sebelumnya dan tetap melanjutkan karena memang kegiatan diksar ini sudah sesuai, dan itu sudah sesuai dengan SOP yang ada,” pungkasnya.

Teks: Khadijah Raihan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *