Dosen FH Unila Turun Gunung! Tegaskan Penolakan terhadap Revisi UU TNI

Bandar Lampung, Rabu (26/03/2025)

Aksi penolakan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) di Bandar Lampung menarik dukungan dari berbagai elemen masyarakat, termasuk akademisi. Salah satu penggeraknya, Refi Meidiantama, dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung (FH Unila), turut menyuarakan penolakan melalui orasi tentang pentingnya menjaga supremasi sipil dalam demokrasi.

Dalam pidatonya, Refi mengingatkan trauma sejarah rezim militer sebelum 1998. “Bagi yang pernah hidup di era itu, pengalaman ini meninggalkan ketakutan mendalam. Kehadiran kita hari ini bertujuan menegakkan supremasi sipil sebagai fondasi demokrasi,”tegasnya. Ia menekankan bahwa kekuasaan politik harus tetap di tangan rakyat sipil, bukan militer.

Refi menjelaskan alasan utama penolakan revisi UU TNI. “Militer memegang senjata, sementara demokrasi membutuhkan dialog. Senjata tidak bisa diajak berdiskusi. Jika supremasi sipil dilemahkan, nilai demokrasi kita terancam,” ujarnya. Ia juga mengkritik ekspansi kewenangan TNI, yang dinilai melampaui fungsi pertahanan. “TNI kini sudah menjadi super power karena memasuki ranah sipil, bahkan menguasai proses peradilan pidana internal mereka sendiri. Ini berbahaya bagi keseimbangan demokrasi,” paparnya.

“Militer dan demokrasi adalah dua entitas yang bertolak belakang. Militer memiliki senjata, sementara demokrasi bertumpu pada dialog. Senjata tidak bisa diajak bernegosiasi,”tegas Refi. Ia mengingatkan bahwa pasca-Reformasi 1998, Indonesia berkomitmen membatasi intervensi militer dalam politik sipil. “Revisi UU TNI justru membuka ruang bagi perluasan kewenangan militer ke ranah sipil. Ini langkah mundur ke era otoritarianisme,” tambahnya.

Refi menyoroti dua poin kritis dalam revisi tersebut:

1. Ekspansi Kewenangan ke Ranah Sipil: TNI dinilai semakin menguasai pos-pos strategis di pemerintahan sipil, seperti pengelolaan kebijakan publik dan keamanan lokal. “Militer harus fokus pada pertahanan, bukan mengurus urusan politik atau administrasi sipil,” ujarnya.

2. Otonomi Peradilan Militer: Revisi UU TNI memperkuat kewenangan internal TNI dalam proses peradilan pidana anggota militer, mulai dari penyidikan hingga persidangan. “Ini menciptakan kekebalan hukum. Kasus pelanggaran HAM oleh militer berisiko ditutup rapat tanpa pengawasan sipil,” paparnya.

Ia juga mengkritik narasi pemerintah yang membenarkan revisi dengan dalih “penyesuaian ancaman kontemporer”. “Jika alasan revisi adalah menghadapi terorisme atau kejahatan transnasional, seharusnya yang diperkuat adalah kapasitas kepolisian, bukan militer. Demokrasi akan mati jika sipil tak lagi memegang kendali,” tegas Refi.

Sejarah, menurutnya, menjadi bukti bahwa dominasi militer dalam politik selalu berakhir pada represi. “Orde Baru adalah contoh nyata: militer menguasai parlemen, birokrasi, bahkan kehidupan sehari-hari warga. Kita tidak boleh mengulang kesalahan itu,” imbuhnya.

Aksi yang diikuti mahasiswa, aktivis, dan warga ini berlangsung tertib. Massa membentangkan spanduk bertuliskan ‘Batalkan Revisi UU TNI!’ dan menyampaikan pernyataan sikap menuntut pemerintah serta DPR menghentikan revisi tersebut. “Kami mendesak agar kebijakan ini dikaji ulang agar tidak mengabaikan prinsip Reformasi 1998,” seru salah satu peserta aksi.

Refi menutup orasi dengan pesan tegas: “Jangan biarkan militer menguasai politik. Demokrasi harus dijaga oleh sipil, untuk sipil.” Aksi ini menjadi bagian dari upaya masyarakat sipil memastikan revisi UU TNI tidak mengulangi kesalahan masa lalu.

Teks: Aris Krisna Setiawan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *