Bandarlampung, Selasa – (12/04/2022)
Masalah sengketa pemira 2020 dan kekosongan kursi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas kembali mencuat setelah papan bunga di pasang di sekitaran halte Unila. Papan bunga ini merupakan bentuk aksi protes terhadap keputusan rektorat yang membiarkan kekosongan di kursi BEM-U sejak tahun 2020. Aksi ini diperkasai oleh alumni pengurus-pengurus BEM-U yang telah lama mengkritik masalah ini dengan cara unik, yakni memasang tulisan krtitik di papan bunga.
“Turut berdukacita atas wafatnya kebebasan berorganisasi di Unila”
Menanggapi hal itu Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Universitas Lampung (Unila) Prof. Dr. Yulianto, M.Si., menegaskan jika Unila tidak mengekang kebebasan organisasi mahasiswa manapun, dikutip dari berita Unila (11/4).
WR 3 berpendapat jika pemilihan BEM-U tak diterima rektorat sebab mekanisme pemilihan tak sesuai Peraturat Rektorat (Pertor), sehingga pelantikan tidak bisa dilaksanakan.
“Organisasi kemahasiswaan mati suri di Unila itu tidak ada, toh kegiatan-kegiatan kemahasiswaan yang lain tetap jalan dan kenapa BEM tidak jalan? Karena, pada saat akan dilakukan pemilihan BEM 2022, sudah kami informasikan bahwa sudah ada Peraturan Rektor yang mengatur organisasi kemahasiswaan, dan kami meminta agar digunakan mekanisme pemilihan sesuai dengan Pertor tersebut. Tapi tidak dilakukan. Oleh karena itu, pelantikan tidak bisa dilaksanakan jika tidak berdasarkan Pertor,” kata WR3 Prof. Dr. Yulianto, M.Si.,.
Walau sengketa pemira 2020 telah selesai, akan tetapi masalah ini bermuara dari tim Panitia Khusus (Pansus) 2020 yang dibubarkan oleh pihak rektorat. Dari kedua belah pihak antara rektorat dan Pansus/BEM sama-sama mengaku peraturan atau undang-undangnya yang paling benar, sehingga menimbulkan ketidaksinambungan peraturan. Disinilah letak masalah sengketa ini terjadi, asal muasal pihak rektorat tak mengakui keberadaan BEM-U 2022.
Edi Hermawan sendiri selaku ketua Pansus-U 2020 mengatakan jika perbedaan pandangan terhadap peraturan atau undang-undang inilah yang akhirnya menjadi sengketa pemira sampai sekarang. Ia berpendapat jika semua pihak harus memberikan kesepakatan terkait peraturan pemira dan pansus-U ini selanjutnya.
“Nah inilah yang harus clear oleh semua pihak, aturan mana yang berlaku, aturan mana yang harus dijalankan. Dalam pemerintahan mahasiswa kita punya UUD KBM Unila, sementara sebagai mahasiswa Unila kita punya Pertor”, katanya (11/4).
Edi juga memberikan saran jika pihak Unila mampu menunjukkan itikad baiknya dengan langkah penyelesaian yang lebih koperatif lagi.
“Terakhir untuk kebebasan berorganisasi, Jikalau memang pihak kampus merasa tidak mengekang kebebasan berorganisasi maka harus ditunjukkan itikadnya. Jangan ketika pihak kampus menolak melantik BEM & DPM hasil pemira 2021 kemudian tidak ada langkah penyelesaian. Kalau kita analogikan negara, Kekosongan kekuasaan itu hal yang berbahaya,” pesannya.
Teks: Aditia Inggit P.
Foto: Surya Anugrah P. (Kontributor)