Bandar Lampung, Selasa (20/8/24)
Sebuah kuliah umum komprehensif tentang politik luar negeri Indonesia, bertajuk “10 Tahun Diplomasi Indonesia,” diselenggarakan di 38 provinsi di Indonesia, tidak ketinggalan di Provinsi Lampung tepatnya di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung (Fisip Unila) di gedung D 3.1.
Kuliah ini disampaikan oleh Spica Alphanya Tutuhatunewa, Kepala Pusat Strategi Kebijakan Kawasan Amerika dan Eropa di Badan Strategis Kebijakan Luar Negeri Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, yang menyoroti tantangan dan keberhasilan diplomasi Indonesia dalam dekade terakhir.
“Dunia ini dinamis, dan dua tahun terakhir telah menyaksikan perang Rusia-Ukraina, konflik di Timur Tengah, dan rivalitas yang semakin meningkat antara China dan AS,” ujar Tutuhatunewa, menekankan lanskap geopolitik yang kompleks yang dihadapi Indonesia.
Kuliah ini menggarisbawahi pentingnya prinsip politik luar negeri Indonesia yang “Bebas dan Aktif,” yang memprioritaskan kepentingan nasional sambil secara aktif berkontribusi pada perdamaian dan keamanan global. Prinsip ini, yang tercantum dalam Konstitusi Indonesia, memandu upaya diplomatik negara.
“Diplomat Indonesia harus terukur, terencana, berorientasi pada tindakan, dan berorientasi pada hasil,” tegas Tutuhatunewa, menguraikan atribut kunci yang diperlukan untuk diplomasi yang efektif.
Kuliah ini menguraikan lima prioritas diplomatik utama Indonesia:
1. Diplomasi Ekonomi: Prioritas ini berfokus pada penguatan perdagangan dan investasi, mempromosikan produk industri strategis Indonesia di pasar global, dan memperkuat diplomasi kesehatan. Tagline “BUMN Go Global,” yang diadopsi oleh perusahaan milik negara Indonesia, mencerminkan ambisi ini.
2. Diplomasi Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI): Prioritas ini menekankan fasilitasi pembebasan 360 warga negara Indonesia yang menghadapi hukuman mati di luar negeri dan membantu dalam situasi penyanderaan.
3. Diplomasi Kedaulatan: Prioritas ini melibatkan pengamanan batas maritim Indonesia, seperti yang terlihat dalam perjanjian delimitasi dengan Vietnam dan Malaysia.
4. Kepemimpinan Regional dan Global serta Kontribusi Perdamaian: Prioritas ini menyoroti peran aktif Indonesia dalam organisasi regional dan global seperti ASEAN, MIKTA, G20, dan IORA.
5. Diplomasi Infrastruktur: Prioritas ini berfokus pada inisiatif seperti perjanjian bebas visa dan pendirian misi diplomatik Indonesia di luar negeri.
Kuliah ini juga membahas lanskap global yang terus berkembang, menyoroti tren utama dalam geopolitik, geoekonomi, dan potensi gangguan.
Kuliah ini memberikan wawasan tentang lanskap geopolitik dan ekonomi di wilayah-wilayah kunci:
– Amerika: Kuliah ini membahas pemilihan umum nasional yang akan datang di Meksiko, Kanada, dan AS, persaingan yang semakin meningkat antara AS dan China, dan militerisasi yang meningkat di wilayah tersebut. Kuliah ini juga menekankan pentingnya mengakses pasar di Amerika.
– Eropa: Kuliah ini berfokus pada konflik Rusia-Ukraina yang sedang berlangsung, pemilihan umum Uni Eropa yang akan datang, kebangkitan partai politik sayap kanan, dan masalah yang terkait dengan migrasi, deforestasi, dan perubahan iklim. Kuliah ini juga menyoroti perluasan NATO dan meningkatnya kerja sama antara Indonesia dan Eropa di sektor pertahanan.
Dr. Arie Fitria M.T., D.E.A., dosen di Departemen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung, memberikan komentar tentang kuliah ini.
Dr. Fitria menyoroti evolusi diplomasi, menekankan pergeseran dari model Prancis abad ke-18 ke pendekatan yang lebih modern yang berfokus pada kepentingan nasional. Dia mengutip contoh Agus Salim, seorang diplomat Indonesia terkemuka yang menjadi satu-satunya orang Asia yang fasih berbahasa Prancis dan menggunakan rokok “kretek” sebagai alat diplomatik.
Dr. Fitria juga menekankan pentingnya Indonesia tidak hanya menjadi pasar bagi negara lain. Dia mengutip contoh Senegal, di mana Indonesia mengekspor sepeda motor, yang bahkan disebut “Jakarta” karena asal usulnya.
Kuliah ini menyentuh tantangan dalam menjaga kedaulatan di dunia tanpa batas, dengan konsep tradisional batas nasional menjadi semakin kabur.
Dr. Fitria juga menekankan pentingnya jaringan diplomatik Indonesia yang beragam, menyoroti misi diplomatik Indonesia tertua di Singapura, Bangkok, Thailand, dan New Delhi, India.
Kuliah ini diakhiri dengan ajakan bertindak bagi generasi muda Indonesia, mendorong mereka untuk mengejar karier di bidang diplomasi.
“Anda harus pintar, tidak hanya dengan IPK 4.0, tetapi juga dalam keterampilan sosial,” saran Tutuhatunewa. “Kemampuan berbahasa Inggris juga sangat penting, dengan skor TOEFL minimal 550 yang dibutuhkan di Kementerian Luar Negeri. Dan yang terpenting, cintai diri sendiri.”
Kuliah ini berfungsi sebagai platform berharga untuk melibatkan generasi muda dalam memahami politik luar negeri Indonesia dan perannya dalam membentuk lanskap global. Kuliah ini menggarisbawahi pentingnya diplomasi dalam mempromosikan kepentingan nasional, mendorong kerja sama internasional, dan berkontribusi pada perdamaian dan keamanan global.
Setelah kuliah umum digelar, dilaksanakan pula penandatanganan perjanjian antara Fisip Unila dengan Kementrian luar negeri.
Teks: Endi Muhammad Akbar AS