Menelisik Pro dan Kontra Kenaikan PPN Menjadi 12%, ini Tanggapan Dosen FEB Unila

Bandar Lampung, Selasa (19/03/24)

Menteri kordinator bidang perekonomian, Airlangga Hartarto dalam sebuah konferensi pers memastikan pemberlakuan pajak penambahan nilai (PPN) menjadi 12%.Hal ini menyusul penetapan undang-undang nomor 7 tahun 2021 yang direncanakan berlaku efektif pada Januari 2025.

Penerapan kenaikan PPN menjadi isu hangat di masyarakat setelah sebelumnya pada tahun 2022 naik menjadi 11% dari 10% sejak PPN pertama diberlakukan tahun 1984.

Pemerintah beralasan kenaikan PPN ini sebagai bentuk upaya meningkatkan pendapatan Negara dilihat dari pengalaman kenaikan PPN menjadi 11% tahun 2022. Hal ini menaikkan pendapatan Negara 14%-18%.

Kenaikan ini juga sangat berdampak bagi perekonomian. Sejumlah harga barang kena pajak diprediksi naik. Para pelaku industri diprediksi akan menaikkan harga jual. Isu kenaikan inflasi dan pengangguran yang siknifikan juga menjadi kekhawatiran.

Kenaikkan PPN ini menjadikan Indonesia sebagai Negara dengan persentase PPN terbesar di ASEAN bersama dengan Filipina.

Sejumlah akademisi mengomentari kenaikan PPN ini. Menurut Kamadie Sumanda Syafis, dosen pajak Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung (FEB Unila) menuturkan “ Masyarakat belum siap akan kenaikan PPN, seharusnya pemerintah mendahulukan UU pajak karbon jika memang mau meningkatkan pendapatan,mengingat karbon dari proses industri sudah berdampak siknifikan atas pencemaran lingkungan,kenaikan PPN dapat meningkatkan pengangguran serta dikhawatirkan meningkatkan angka kriminalitas,menciptakan penurunan daya beli serta inflasi, saya cendrung tidak setuju atas kebijakan ini.”

Arif Darmawan, dosen ekonomi pembangunan FEB Unila juga ikut memberikan komentar. Beliau menuturkan “ Kenaikan PPN menyebabkan kuantitas yang diminta atas barang kena pajak akan turun, namun jika stabilitas ekonomi bisa terjamin maka tidak akan menyebabkan dampak yang sistemik dan siknifikan terhadap inflasi. Akan tetapi pemerintah harus mensosialisasikan, memperkuat jaring jaminan sosial masyarakat menengah bawah, serta efisiensi anggaran agar jika terjadi goncangan maka tidak menjatuhkan masyarakat ke jurang kemiskinan serta dapat berdampak atas peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia.”

Sejatinya pajak adalah instrumen pendapatan pemerintah paling utama guna keberlanjutan pemerintahan sehingga pemerintah cukup konsentrasi atas instrumen ini.

Teks: Endi Muhammad Akbar AS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *