
“Tugas pers bukan menghias kenyataan, tetapi menyingkap warna aslinya.”
Ketika iklan air minum kemasan menampilkan tetesan embun di daun hijau, atau label “eco” menempel di tas plastik sekali pakai, banyak dari kita merasa sedang berkontribusi untuk bumi. Padahal, tak semua yang tampak hijau benar-benar ramah lingkungan. Di Era Digital 5.0, promosi dan narasi bergerak lebih cepat daripada verifikasi. Media sosial menyuarakan slogan, influencer mengulanginya sehingga pasar dipenuhi oleh produk dengan klaim “ramah lingkungan” yang tak selalu sesuai fakta. Pada titik inilah “Pers Merdeka, Ekonomi Berdaya” bukan sekadar tema, melainkan kebutuhan. Pers hadir untuk memastikan ekonomi benar-benar berdaya karena publik menerima informasi yang dapat dipercaya dan selaras dengan arah Sustainable Development Goals (SDGs).
Praktik memalsukan klaim hijau tersebut dikenal sebagai greenwashing. Dalam penelitian oleh Spaniol et al. (2024), istilah ini berasal dari esai Jay Westerveld yang menggambarkan bagaimana manajemen hotel memangkas biaya laundry dengan mendorong tamu menggunakan kembali handuk kamar mandi. Webster’s New Millennium Dictionary of English mendefinisikan greenwashing sebagai upaya membuat produk tampak lebih ramah lingkungan daripada kenyataannya (Merriam-Webster, 2018). Greenwashing menciptakan fenomena moral self-licensing di mana konsumen merasa ikut berkontribusi positif pada lingkungan, padahal mereka dimanipulasi oleh strategi pemasaran.
Menurut Ikhsan (2024), 40% masyarakat Indonesia terdorong membeli produk “hijau” karena alasan ramah lingkungan. Namun, ketika klaim itu terbukti menyesatkan, akan ada kerugian kepercayaan dan penurunan pasar. Sementara itu, pelaku usaha yang sungguh-sungguh berinvestasi pada energi bersih, desain ramah lingkungan, dan rantai pasok hijau harus bersaing dengan mereka yang hanya menjual narasi. Akibatnya, pasar menjadi tidak adil karena kosmetik komunikasi mengalahkan kinerja. Jika dibiarkan, greenwashing akan menghambat ketercapaian SDGs seperti SDG 12 dan menggerus fondasi ekonomi berkelanjutan (Choudhury et al., 2023).
Fenomena ini bukan hal asing bagi Indonesia. Olivia et al. (2024) menjelaskan beberapa kasus perusahaan yang melakukan greenwashing seperti Nestle, Shell, dan Adaro Energy. Nestle mengklaim kemasan “eco-shaped bottle” menggunakan 30% lebih sedikit plastik tanpa keterangan perbandingan yang jelas. Shell menyatakan bahwa 12% dari modalnya dialokasikan untuk Renewables and Energy Solutions padahal hanya 1,5% yang benar benar digunakan dan sisanya justru dialokasikan untuk perdagangan gas. Tidak hanya itu, Adaro Energy pernah mengklaim transisi menuju usaha berkelanjutan, tetapi tetap menjadikan pertambangan batu bara sebagai bisnis utama bahkan dengan target volume produksi.
Sayangnya, praktik seperti ini kerap luput dari sorotan media. Bukan berarti greenwashing jarang terjadi, melainkan tersembunyi di balik jargon teknis dan laporan panjang yang jarang dikupas tuntas. Saat ini, pemberitaan pers di Indonesia memang mulai mengenalkan istilah greenwashing dan dampaknya terhadap masyarakat maupun SDGs. Namun, masih sedikit media yang berani membongkar siapa pelakunya dan produk mana yang menyandang label hijau tanpa bukti. Rendahnya kesadaran publik mengenai kelengkapan informasi dan keberanian media untuk mengulasnya membuat citra hijau palsu terus berkembang tanpa akuntabilitas (Indonesian Center for Environmental Law, 2021).
Disinilah kemerdekaan pers menjadi fondasi. Pers yang merdeka tidak cukup hanya menyuarakan, tetapi berani mengungkapkan bukti kepada masyarakat. Pers yang merdeka berfungsi sebagai pengawas publik, penerjemah kebenaran, dan pendidik kesadaran lingkungan. Sebagai pengawas, pers menekan perusahaan agar tidak bermain dengan citrahijau palsu. Sebagai penerjemah, pers mengurai istilah teknis agar masyarakat tidak tersesat oleh jargon manipulatif. Dan sebagai pendidik, pers menumbuhkan literasi masyarakat dengan mengaitkan isu keberlanjutan ke kehidupan sehari-hari. Fungsi ini menjadikan pers bukan hanya saksi kebenaran, tetapi juga motor perubahan yang mengarahkan ekonomi menuju keberlanjutan.
Penelitian oleh Chen & Masron (2025) menegaskan bahwa media berperan sebagai mekanisme pengawasan publik yang menekan perusahaan untuk benar-benar melakukan praktik hijau. Ketika visibilitas media meningkat, pengawasan masyarakat dan pemerintah pun menguat sehingga mempersulit perusahaan melakukan greenwashing. Meningkatnya liputan media akan menekan dan memaksa perusahaan untuk menyelaraskan klaim mereka dengan praktik yang sebenarnya guna menghindari kerusakan reputasi. Hasil penelitian empiris bahkan menunjukkan bahwa perhatian media secara signifikan mengurangi praktik greenwashing dan meningkatkan kualitas serta keandalan laporan (Yue & Li, 2023).
Ketika pers menjalankan perannya dengan tajam, ekonomi mendapatkan pondasi yang lebih kokoh. Media yang konsisten menuntut transparansi membuat pelaku usaha yang berinvestasi sungguh-sungguh dalam praktik hijau memperoleh keunggulan kompetitif yang nyata. Perusahaan yang jujur menarik kepercayaan investor dan konsumen sehingga risiko reputasi menurun dan biaya pembiayaan berkurang karena reputasi baik mengundang pendanaan. Dengan demikian, ekonomi tumbuh bukan dari slogan, melainkan dari kepercayaan. Inilah makna sejati ekonomi berdaya yaitu ekonomi yang digerakkan oleh kinerja, bukan kosmetika narasi. Lebih dari sekadar angka finansial, kekuatan pers juga beresonansi pada pencapaian SDGs terutama SDG 12 tentang konsumsi dan produksi berkelanjutan dan SDG 13 mengenai aksi iklim.
Dengan pers yang berani mengungkap klaim palsu, masyarakat menjadi lebih kritis, korporasi terdorong untuk menyesuaikan aksi dengan janji, dan penyimpangan produksi ramah lingkungan semu mulai terkikis. Akhirnya, bukan hanya klaim “hijau” yang beredar, tetapi bukti nyata yang diperhitungkan. Di sinilah pers berperan sebagai jembatan antara cita-cita global dan praktik lokal dengan memastikan bahwa keberlanjutan tidak berhenti pada slogan, tetapi hidup dalam kebijakan dan tindakan. Namun, keberanian semacam itu hanya dapat bertahan jika media juga menjaga pijakan etiknya.
Iklan adalah napas bisnis dan sebagian klaim hijau datang melalui materi berbayar. Jalan keluarnya bukan sinisme melainkan transparansi yang mudah dipahami pembaca. Setiap klaim lingkungan wajib menyertakan bukti dan redaksi berhak menolak narasi yang tidak bisa diverifikasi. Transparansi seperti ini menumbuhkan kepercayaan jangka panjang yang justru memperkuat daya tahan bisnis karena pembaca yang percaya adalah aset yang tak tergantikan. Pada akhirnya, “Pers Merdeka, Ekonomi Berdaya: Menjawab Tantangan SDGs di Era Digital 5.0” bukanlah hanya tema lomba semata, melainkan peta jalan moral bagi kita semua.
Kemerdekaan pers memberi hak untuk bertanya demi publik sehingga ekonomi tumbuh dan tantangan SDGs terjawab. Di tengah derasnya arus konten dan kelincahan iklan, pers harus memilih bukan yang paling nyaring, melainkan yang paling jelas datanya. Ekonomi hijau tidak lahir dari cat, tetapi dari isi. Tugas pers adalah membuktikan isi itu, memisahkan hijau yang bekerja dari hijau yang hanya bekerja untuk citra. Jika ini kita lakukan bersama mulai dari pers, pembaca, dan pelaku usaha maka kata “hijau” kembali punya makna, ekonomi kita benar-benar berdaya, dan tujuan berkelanjutan tidak hanya diceritakan tetapi juga dikerjakan.
Referensi
- Chen, Y., & Masron, T. A. (2025). The role of media visibility in mitigating greenwashing driven by executive environmental cognition: Evidence from China. Finance Research Letters, 74.
- Choudhury, R. R., Islam, A. F., & Sujauddin, M. (2023). More than Just a Business Ploy? Greenwashing as a Barrier to Circular Economy and Sustainable Development: a Case Study-Based Critical Review. Circular Economy and Sustainability, 233–266.
- Ikhsan, R. B. (2024, October). Greenwashing Raises Red Flags with Indonesian Consumers.
- Indonesian Center for Environmetal Law. (2021). Telaah Kebijakan Sustainable Consumption and Production (SCP) dalam Merespons Fenomena Greenwashing di Indonesia pada Era E-C.
- Merriam-Webster. (2018). Merriam-Webster: America’s most-trusted online dictionary .
- Olivia, T., Breliastiti, R., Jeninfer, & Hanjaya, A. E. (2024). Mewaspadai Praktik Greenwashing Dalam Implementasi ESG. Jurnal Bisnisdan Kewirausahaan, 12(2), 1–6.
- Spaniol, M. J., Danilova-Jensen, E., Nielsen, M., Rosdahl, C. G., & Schmidt, C. J. (2024). Defining Greenwashing: A Concept Analysis. Sustainability, 16(20).
- Yue, J., & Li, Y. (2023). Media attention and corporate greenwashing behavior: Evidence from China . Finance Research Letters.
Penulis: Muhammad Adnan Nurcahyo