Bab 1. Ayuni yang Biasa
Ayuni tahu betul ia bukan gadis yang menarik.
Tubuhnya kecil, bahkan sering disebut ” kamu mungil banget” oleh guru olahraga. Kulitnya sawo matang, khas anak kampung pesisir yang tak pernah takut matahari. Rambutnya ikal, tak lurus seperti kebanyakan teman-teman perempuannya. Tak jarang, ia mengikat rambut asal-asalan kadang tinggi seperti buntut kuda, kadang hanya dicepol separuh saat malas.
Namun, Ayuni punya mata yang hidup. Mata yang berbinar ketika membaca buku cerita, ketika melihat hujan turun sore-sore, atau ketika mendengar ada lomba menulis puisi di papan pengumuman sekolah.
Hari itu, hari pertama MPLS di SMP barunya. Ayuni berdiri di antara puluhan siswa lain dengan wajah tegang dan mata mencari-cari arah. Semua terlihat asing. Tapi entah kenapa, pagi itu seperti membawa angin lain.
Ia melihatnya.
Seorang siswa lelaki berdiri di atas panggung, menyambut para peserta MPLS. Ia tersenyum lebar, berbicara dengan nada suara yang tenang tapi tegas. Tubuhnya tegap, posturnya tinggi, dan wajahnya bersih. Tapi yang paling Ayuni ingat adalah sorot matanya hangat dan penuh percaya diri.
Namanya disebut berkali-kali oleh kakak kelas lain.
“Ketua panitia MPLS kita tahun ini, kak Angger!”
Ayuni tak pernah percaya cinta pada pandangan pertama. Tapi sejak hari itu, hatinya berubah. Ada ruang kecil di dalam dada yang mulai berdebar setiap kali nama itu disebut. Ia bahkan tak tahu alasan pastinya apakah karena senyum Angger yang selalu ramah, atau karena caranya berbicara yang membuat semua orang merasa dihargai.
Ayuni pulang hari itu dengan langkah ringan. Ia menulis sesuatu di halaman belakang buku catatan barunya:
“Hari pertama sekolah. Aku melihat seseorang. Dia seperti matahari terang, hangat, dan jauh.”
Dan sejak hari itu, hidup Ayuni di SMP tak lagi sama.
Bab 2. Rani, Teman Baru
Kalau Ayuni adalah awan mendung yang senyap, maka Rani adalah pelangi yang tak pernah diam.
Mereka bertemu di barisan kelas VII-C, hari kedua MPLS, ketika Rani duduk sembarangan di samping Ayuni dan langsung mengulurkan tangan.
“Hai, aku Rani! Kamu siapa?”
“A-Ayuni,” jawabnya pelan.
“Okeh, kita duduk bareng aja, ya? Aku gak kenal siapa-siapa, Disini.”
Sejak hari itu, Rani seperti bayangan yang tak pernah lepas dari Ayuni. Ia berbicara cepat, banyak tertawa, dan selalu punya cara ajaib membuat suasana menjadi cerah.
Berbeda dengan Ayuni yang pendiam dan cenderung menyimpan perasaan, Rani selalu spontan dan terbuka. Mungkin karena itulah mereka cocok.
Suatu siang, saat istirahat, Rani melihat Ayuni menatap ke arah lapangan dengan pandangan kosong.
“Yun,” bisiknya pelan, sambil mengunyah tahu isi, “kamu tuh dari tadi liatin Kak Angger, ya?”
Ayuni hampir tersedak.
“Nggak kok, cuma… ya liat aja.”
Rani tertawa kecil. “Ya ampun, Yun. Suka ya sama Kak Angger? Ck, kamu berani juga, yah!”
Wajah Ayuni langsung memerah. “Enggak. Mana berani. Cuma… kayaknya dia baik.”
Rani menatap Ayuni lama, lalu tersenyum. “Dia emang baik. Tapi kamu juga baik, Yun. Jangan ngerasa kecil sendiri cuma karena kamu diem. Kalau hati kamu bersih, itu udah paling cantik.”
Ayuni hanya diam.
Di saat semua orang mungkin akan menertawakan rasa sukanya yang tak mungkin itu, Rani justru menerima dan menjaganya.
Mereka mulai saling berbagi rahasia tentang nilai ulangan yang jelek, tentang orang tua yang kadang terlalu sibuk, tentang cita-cita, bahkan tentang mimpi-mimpi gila seperti ingin jadi penulis atau penyanyi.
Rani adalah tempat Ayuni berpulang setiap kali pikirannya terlalu ramai.
Dan ketika perasaan Ayuni pada Angger semakin tumbuh, Rani lah satu-satunya orang yang tahu segalanya. Termasuk betapa Ayuni pernah diam-diam mencatat setiap momen di mana Angger tersenyum di dekatnya.
“Yun,” kata Rani suatu sore, sambil berbaring di ruang UKS, “Kalau suatu saat kamu ngerasa jatuh cinta itu nyakitin, jangan lupa… cinta bukan soal memiliki, tapi soal siapa yang bikin kamu jadi orang lebih baik. Gituhh, kata quotes di Tumblr.”
Ayuni hanya tersenyum kecil. Ia tahu, meski banyak orang datang dan pergi, Rani adalah satu dari sedikit yang akan tetap ada.
Bab 3. Diam-Diam Menyukai Angger
Setelah MPLS selesai, Ayuni semakin sering melihat Angger di lingkungan sekolah. Kadang saat baris pagi, kadang di aula waktu upacara penghargaan siswa berprestasi. Angger selalu ada di depan tersenyum sambil menerima piagam atau memberi sambutan. Ia seperti magnet. Sederhana, tapi tak terhindarkan.
Dan Ayuni, dengan hati-hati, mulai mengumpulkan potongan tentang siapa sebenarnya Angger.
Ia tahu Angger kelas IX-A, unggulan, juara umum dua kali berturut-turut. Ia pernah jadi duta siswa anti-narkoba dan aktif di ekskul Paskibra. Kakak kelas yang satu ini seolah punya semua hal yang membuatnya… tidak terjangkau lebih tepat sulit digapai.
Tapi rasa suka kadang seperti tetes embun di pagi hari diam, pelan, tapi tak pernah gagal hadir.
Setiap kali Angger lewat di koridor, Ayuni akan menunduk sambil pura-pura membaca buku. Saat Angger ikut rapat OSIS di perpustakaan, Ayuni diam-diam duduk dua bangku di belakang, mencatat hal-hal yang tidak penting hanya supaya bisa melihat siluetnya.
Rani sering menyindir,
“Yun, kamu tuh kayak intel. Tapi versi yang… gagal nyamar.”
Namun Ayuni tak peduli. Ia hanya ingin tahu. Hanya ingin dekat, meski tak pernah benar-benar menyentuh.
Lalu suatu hari, hujan turun deras saat istirahat kedua. Ayuni dan Rani sedang berteduh di depan perpustakaan ketika mata Ayuni menangkap sesuatu.
Angger berdiri di depan gerbang dengan seorang perempuan. Cantik, tinggi, rambut lurus sebahu. Mereka tertawa, dan… saling menggenggam tangan.
Ayuni terdiam.
Hujan mendadak seperti mengaburkan pandangannya. Tapi apa yang dilihatnya tak akan salah.
Itu bukan cuma teman.
Itu pacarnya.
Rani yang juga melihat langsung memalingkan wajah ke arah Ayuni. “Yun…”
Ayuni tersenyum. Atau setidaknya berusaha. “Ya, nggak apa-apa. Toh aku siapa?.”
Hari itu, Ayuni pulang dengan langkah pelan. Langit masih kelabu.
Di dalam kamar, ia membuka bukunya, menuliskan satu kalimat pendek yang bergetar:
“Ternyata tidak semua yang kita kagumi, disediakan untuk kita miliki.”
Namun anehnya, sejak hari itu, rasa itu tidak benar-benar pergi. Ia tetap tumbuh, perlahan, diam-diam. Dan semakin ia ingin mengubur perasaannya… bayangan Angger justru semakin lekat di pikirannya.
Bab 4. Belajar Merelakan
Ayuni tidak menangis saat tahu Angger sudah punya kekasih. Ia tidak marah, tidak juga kecewa secara meledak-ledak.
Yang ia rasakan adalah… hampa. Seperti menatap jendela yang selalu ia sangka terbuka, ternyata sudah tertutup dari awal. Rasa suka itu tetap tinggal, tapi tak lagi punya rumah untuk pulang.
Rani tetap di sampingnya, menjadi tempat menumpahkan semua rasa yang tak bisa ia bagi ke siapa pun.
“Kamu tahu nggak, Ran?” kata Ayuni suatu malam di beranda rumah, saat hujan turun lembut. “Aku bukannya nggak mau berhenti. Tapi rasa ini… nggak mau pergi.”
Rani mengangguk. “Ya, cinta emang kadang gitu. Nggak nunggu logika, nggak nunggu siap. Tapi, Yun… kamu juga harus tumbuh.”
Kalimat itu tinggal lama di kepala Ayuni. Kamu harus tumbuh.
Bukan untuk melupakan Angger, tapi untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari luka yang terus ia ulang.
Sejak saat itu, Ayuni mencoba berubah.
Ia mulai lebih aktif di kelas. Ia mendaftar ikut kegiatan ekstrakurikuler seni, dan bergabung dengan klub baca yang digagas oleh perpustakaan sekolah. Ia menulis puisi-puisi pendek yang tak pernah ia kirim ke siapa-siapa, hanya disimpan dalam jurnal kecil bergambar bulan dan bintang.
Satu di antaranya berbunyi:
“Aku pernah menyukai seseorang seperti bumi menyukai matahari.
Mengelilinginya tanpa pernah bisa menyentuh.”
Tiap pagi, Ayuni mencoba meyakinkan dirinya bahwa dunia tidak hanya tentang Angger. Bahwa ada banyak hal lain yang patut diperjuangkan.
Nilai-nilainya perlahan naik. Ia mulai dipercaya untuk memimpin kelompok belajar. Guru-guru mulai memperhatikan potensinya. Bahkan saat ada seleksi OSIS dan MPK untuk siswa baru, Ayuni dengan gemetar mengisi formulir dan menyerahkannya ke ruang kesiswaan.
Rani tersenyum lebar saat tahu. “Liat! Ini baru Ayuni. Bukan cuma gadis pendiam, tapi pejuang masa depan!”
Tapi walau langkahnya terus maju, Ayuni tahu satu hal: perasaannya belum benar-benar hilang.
Cinta itu masih ada, seperti daun yang gugur di halaman tak lagi segar, tapi tetap terlihat jika dilihat dari jendela tertentu.
Dan tanpa ia sadari, keputusan untuk ikut MPK itu… akan membuatnya berdiri semakin dekat dengan Angger dan kembali dihadapkan pada rasa yang belum selesai.
Bab 5. Masa SMA: Dekat Tapi Jauh
Waktu seperti berlari.
Tak terasa, Ayuni kini duduk di bangku SMA. Tumbuh lebih tenang, lebih percaya diri. Tubuhnya memang tetap mungil, tapi ada cahaya baru dalam dirinya hasil dari luka yang tak membunuh, tapi membentuk.
Takdir, seperti punya cara bermain-main.
Di sekolah barunya, Angger ternyata bersekolah di tempat yang sama. Dan lebih dari itu ia menjabat sebagai Ketua MPK, sedangkan Ayuni yang setahun lebih muda terpilih menjadi anggota MPK dari kelas X.
Peran yang membuat mereka harus sering berinteraksi, duduk satu meja dalam rapat, menyusun proposal kegiatan, bahkan kadang berbagi tumpangan saat pulang sekolah dari rapat yang molor sampai sore.
“Yun, coba kamu cek ulang rundown acara 17-an besok,” kata Angger suatu sore. Suaranya hangat seperti dulu, tapi kali ini terdengar langsung… dari dekat.
Ayuni mengangguk pelan. “Iya, Kak.”
Awalnya canggung.
Tapi lama-lama, interaksi itu jadi biasa. Kadang mereka bicara soal kegiatan sekolah, kadang tentang makanan favorit, atau sesederhana saling berbagi payung saat hujan turun tiba-tiba di halaman sekolah.
Namun justru kebersamaan itulah yang menyiksa.
Bukan karena Ayuni tak suka. Tapi karena kedekatan itu membuat harapan yang sempat ia kubur… pelan-pelan tumbuh lagi. Dan itu berbahaya.
Penulis: Nurbayti